Lihat ke Halaman Asli

Ketoprak Serius dengan Lakon Jokowi

Diperbarui: 25 Juni 2015   07:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Terus terang saya cukup antusias mengikuti proses pemilihan gubernur DKI Jakarta karena salah satu tokoh ceritanya adalah Walikota Solo Joko Widodo. Pada Minggu 18 Maret 2012, Rapat Kerja Daerah Khusus (Rakerdasus) PDIP Perjuangan DKI Jakarta bulat menyalonkan Jokowi--sapaan akrab Walikota Solo ini--sebagai calon gubernur DKI Jakarta. PDIP berkoalisi dengan Partai Gerindra. Calon wakil gubernur ditentukan pada hari ini, Senin, 19 Maret 2012.

Saya antusias karena saya melihat dan merasakan ada nuansa baru dengan majunya Jokowi ke Pilkada Ibu Kota. Tapi, terus terang pula, saya bukan pendukung Jokowi dalam konteks ini. Sebagai jurnalis saya terbiasa membebaskan diri dari "apa pun". Antusiasme saya juga terdorong oleh sedikit pengetahuan saya tentang Jokowi karena saya pernah jadi reporter yang ngepos cukup lama di Balaikota Solo dan ketika itu saya sering nongkrong di Loji Gandrung, rumah dinas Walikota Solo, sehingga sering tak sengaja berbicara informal dengan Jokowi.

Saya melihat dan membaca sosok Jokowi punya konsistensi dalam berpolitik. Sebagai politisi--dua kali terpilih sebagai Walikota Solo dengan citra mencorong saya kita pantas disebut politisi--saya yakin Jokowi punya ambisi politik. Prosesnya menuju Pilkada DKI Jakarta adalah wujud ambisinya itu. Saya mengapresiasi karena ambisi politiknya itu dia wujudkan dengan cara-cara "yang aneh" dalam konteks perpolitikan negeri kita sekarang.

Dia begitu piawai "menjual diri" dengan cara-cara yang santun. Dia juga menggunakan metode survei--sebagaimana para polotisi lainnya--yang dia lakukan secara sembunyi-sembunyi. Dia tak membanggakan dukungan finansial--bisa jadi memang dukungan finansialnya sangat terbatas, cekak kata orang sekarang--walaupun saya yakin dia punya "tabungan dana politik" yang miliaran rupiah.

Cara dia "yang aneh" inilah yang membuat saya cukup antusias mengikuti proses dia menuju Pilkada DKI Jakarta. Saya membaca dan memaknai, menang atau kalah dalam Pilkada DKI Jakarta Jokowi akan meninggalkan jejak yang akan dicatat dalam sejarah perpolitikan negeri ini. Tak mungkinlah berlaga dalam Pilkada Ibu Kota tanpa dukungan finansial yang cukup. Itu keyakinan saya. Nilai positif Jokowi adalah dia menunjukkan perilaku yang "tidak semata-mata demi dan karena uang", walaupun kita tak tahu hakikat di balik ini, sekadar citra atau kesejatian.

Yang jelas, saya memaknai partisipasi Jokowi dalam Pilkada DKI Jakarta akan menyumbangkan catatan sejarah dengan nuansa berbeda jika dikaitkan dengan realitas perpolitikan kita. Saya belum bisa mereka-reka kira-kira apa yang akan terjadi ketika Jokowi memenangi Pilkada DKI Jakarta, mengalahkan calon-calon gubernur lainnya.

Dalam antusiasme saya mengikuti "ketoprak" politik Pilkada DKI dengan salah satu lakon-nya Jokowi ini, saya jadi teringat dengan kisah Sultan Agung Hanyokrokusumo ketika menyerbu Batavia untuk mengusir penjajah VOC. Saya memilih frasa "ketoprak" karena seni drama tradisional Jawa ini memang lazim mementaskan lakon-lakon tentang kekuasaan dan politik yang  bersumberkan khasanah atau folklor kebudayaan Jawa.

Apa relasi penyerbuan Batavia oleh Sultan Agung dan  Jokowi yang maju dalam Pilkada DKI Jakarta? Saya membaca ada dua hal yang mirip.  Sultan Agung adalah raja besar Mataram yang menyerbu Jakarta demi mengusir penjajah Belanda dari bumi Jawa, Jokowi adalah politisi "besar" dari bumi bekas basis Mataram yang menyerbu Jakarta untuk memenuhi ambisinya membangun negeri ini---setidaknya itu yang pernah saya dengar dulu, beberapa tahun lalu, ketika saya sering berkesempatan mewawancarai atau mengobrol dengan Jokowi.

Berikut ini secuil kisah penyerbuan Batavia oleh Sultan Agung yang saya kutip dari Wikipedia.  Bulan April 1628, Kyai Rangga, Bupati Tegal, dikirim sebagai duta ke Batavia untuk menyampaikan tawaran damai dengan syarat-syarat tertentu dari Mataram. Tawaran tersebut ditolak pihak VOC sehingga Sultan Agung memutuskan untuk menyatakan perang.

Maka, pada 27 Agustus 1628 pasukan Mataram dipimpin Tumenggung Bahureksa, Bupati Kendal, tiba di Batavia. Pasukan kedua tiba bulan Oktober dipimpin Pangeran Mandurareja (cucu Ki Juru Martani). Total semuanya 10.000 prajurit. Perang besar terjadi di Benteng Holandia. Pasukan Mataram mengalami kehancuran karena kurang perbekalan.

Menanggapi kekalahan ini Sultan Agung bertindak tegas. Pada bulan Desember 1628, ia mengirim algojo untuk menghukum mati Tumenggung Bahureksa dan Pangeran Mandurareja. Pihak VOC menemukan 744 mayat orang Jawa berserakan dan sebagian tanpa kepala.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline