Lihat ke Halaman Asli

Misuh dalam Hidup Saya

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Misuh atau memaki bisa jadi katarsis ketika menyaksikan tingkah polah elite politik bersandiwara membawa nama rakyat demi meraih kekuasaan. Misuh dengan berbagai macam kata pisuhan atau makian bisa menjadi pengingat bagi diri kita untuk tak ikut-ikutan jadi busuk sebagaimana para politikus dan pejabat yang ketahuan berbuat korupsi dan ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi.

Misuh dalam hidup saya bisa bermakna positif, bisa bermakna negatif. Misuh itu dalam bahasa Indonesia adalah ”memaki”. ”Misuh” merupakan kata kerja dalam bahasa Jawa. Mengapa saya memaknai misuh sebagai positif dan negatif? Begini ceritanya.

Saya lahir dan tumbuh di keluarga yang kental dengan budaya Jawa. Unggah ungguh, tata krama, dan sopan santun adalah acuan dasar dan utama bagi orang tua saya saat mendidik saya dan saudara-saudara saya.

Ibu dan bapak saya sangat memperhatikan tutur kata anak-anak mereka. Bagaimana saya dan saudara-saudara saya menggunakan kata dan kalimat selalu diperhatikan ibu dan bapak saya. Kata-kata kasar selalu mengundang peringatan keras, kadang-kadang amarah.

Semasa kecil hingga remaja, saya tumbuh menjadi manusia yang punya anggapan bahwa kata-kata kasar, termasuk kata-kata makian atau pisuhan, adalah kata-kata orang-orang tak beradab.

Sejak kecil hingga remaja, ketika saya tumbuh di bawah asuhan langsung ibu dan bapak saya, saya memang tak pernah mendengar mereka berdua menggunakan kata-kata makian atau pisuhan, terutama kepada anak-anak mereka.

Kata-kata makian, pisuhan, bagi saya ketika itu adalah kotor, negatif, rendah, jelek, biadab. Kosakata bahasa Jawa sangat kaya kata makian atau pisuhan.

Saya memahami kekayaan kosakata pisuhan dalam bahasa Jawa itu setelah lingkungan pergaulan saya kian luas seiring ketika saya meninggalkan rumah dan harus kuliah di Universitas Sebelas Maret(UNS) di Solo, pada 1994.

Lambat laun ada perubahan pemahaman dan persepsi dalam diri saya ihwal pisuhan. Saya kemudian bisa menerima eksistensi kata-kata makian atau pisuhan sebagai bagian integral dari kehidupan manusia dan kemanusiaan.

Hai, bajingan, piye kabare?” begitu kata sapaan dan pertanyaan yang sering saya dengar (sampai sekarang)tiap kali saya bertemu dengan seorang jurnalis senior (kini sudah “pensiun”dari dunia jurnalisme) yang bertugas di Kota Semarang.

Kata sapaan dengan kata makian “bajingan” itu tak membuat saya marah. Justru saya merasa kian dekat dengan jurnalis yang pada awal 2000-an menjadi salah satu guru saya dalam persoalan menjejak atau tracking anggaran, terutama anggaran pendapatan dan belanja daerah(APBD).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline