SEPERTI MALAM-MALAM SEBELUMNYA, Sutinah berjalan meninggalkan emperan Plaza. Plaza dan pusat belanja tutup, dua jam yang lalu. Jalanan dirambati sepi. Tak ada lagi kendaraan melintas di depan Plaza, kecuali satu dua motor. Ke arah selatan Sutinah agak terseok melangkah. Tak semua lampu merkuri menyala.
Menyusuri sepi trotoar Jalan Gudang, melewati deretan folding gatekelabu gudang pakaian; siluet satu truk besar menurunkan peti-peti isi barang kelontong; toko-toko tutup, gudang tutup; hempasan bau ikan asin, bau pesing sisa kencing. Wadah sampah meluap isinya. Sepasang anjing berlarian merayakan kebebasan malam. Beberapa bintang mendekor lengkung langit. Sisanya pemandangan kosong.
Menyeberang di pertigaan minim cahaya. Kantor kelurahan tanpa neon. Dersik pohon beringin menjangkung di ketiak jalan.
Kabut. Sedikit angin.
Sutinah sampai ke tujuan. Stasiun Timur. Stasiun kecil, biasanya perhentian 15 menit, hanya kereta barang, jarang menurunkan penumpang.
Sutinah selalu menyukai kebiasaannya ini. Menghabiskan malam dengan memandangi stasiun, menyaksikan para komuter turun dari gerbong, berseliweran di sekitar peron ketika lirih udara malam beringsut ke langit barat. Mengamati interaksi sedikit orang, lambaian, jabatan tangan, pelukan dan perpisahan; kalau dia cukup beruntung menemukannya, selalu ada dua atau tiga yang menunggu ketibaan kereta terakhir. Sebatang kara, Sutinah tinggal di bawah langit Plaza -- furnitur tumpukan kardus, botol-botol bekas air mineral dan permadani dua lembar sarung koyak pinggirannya. Dia biasanya berjalan pelahan menuju stasiun kereta sesudah makan malam yang dingin sendirian di parkiran Plaza.
Malam ini kabutnya tidak biasa, lembar-lembar tirai, menggelombang dan jatuh pelahan. Sutinah dapat menandai pendaran temaram lampu jalanan namun tidak bisa melihat dengan jelas tiang-tiang lampu itu. Melilitkan sarung pada bagian atas daster kumalnya menahan serbuan angin Oktober ketika memintas gerbang depan, memanjat ke lantai stasiun.
Selasar pingsan. Gerobak rokok tanpa pemilik. Menapaki undakan tangganya dan muncul di peron. Udara lebih hangat. Dua bangku kayu coklat memanjang. Hanya ada satu orang di situ; lelaki tua, agak gemuk, sedikit pendek, wajah berbulu, terlindung jaket hitam kebesaran, terbungkuk, memegangi keresek putih pada kedua tangannya.
Mereka saling mengangguk.
"Buruk sekali, kabut ini," kata lelaki tua itu.
Sutinah duduk di ujung lain bangku, berjarak dari lelaki itu. Kabut mengapung tipis menyeberangi deretan rel. "Hampir tak percaya mereka menjalankan kereta dalam kabut."