Lihat ke Halaman Asli

Bu, Bukalah Matamu.. Anakmu...

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“ditaaaa……..” ibu kosan dita memanggilnya cukup kencang. Dita seperti anaknya saja dipanggil seperti itu.

“ada apa bu?” dita datang dengan suaranya yang pelan.

“temenin ke supermarket ya.. sekalian ngajak jalan mbak eka” suara ibu kosannya mulai merendah.

“sekarang?”

“iya, cepat sana kamu ganti baju” perintah ibu kosannya.

Dita segera berlari ke kamarnya. Tanpa berpikir panjang dita mengambil baju yang dianggapnya bagus.
Dita tak bisa menolak permintaan ibu kosannya. Mbak eka, anak pertama ibu kosannya, sudah autis selama 30 tahun. Ibu kosannya sendiri berasal dari Minang, istri kedua dari pejabat di daerah depok. Adiknya mbak eka, edo, sudah berumur 27 tahun. Di usia edo yang menua, dia tak pernah menamatkan bangku kuliahnya. Selalu pindah-pindah kuliah. Lengan edo yang panjang dan kurus, banyak tato yang diukirnya. Di kamar edo, teman-temannya silih berganti datang. Sekedar bermain playstation atau
browsing internet. Sungguh menyedihkan nasib edo, tak tahu apa tujuan hidupnya. Dita menyayangkan, dia ingin sekali dilahirkan di tengah keluarga yang mapan seperti mbak eka dan edo. Tetapi, dita tak pernah merasakannya.
“ya Allah, aku bersyukur dengan kondisiku” desih dita yang sedang bercermin. Kamar dita sangat bagus. Ada lemari besar, kipas angin, kasur empok, lemari biasa, dan juga terdapat kamar mandi yang cukup bagus. Kaca besar terpampang di kamar mandinya. Wastafelnya pun dikelilingi dengan aromaterapi. Dita bersyukur, dengan fasilitas seperti ini, dita hanya membayar lima ratus ribu rupiah per bulan. Harga yang sangat murah di lingkungan kota Jakarta, terutama daerah elit di Jakarta Selatan.

“Mbak eka udah siap?” dita segera menyusul mbak eka, dan merangkulnya.

“sudah sudah” mbak eka menyahut dengan pelannya.

Satu hal yang dita takuti terhadap mbak eka adalah ekspresi mbak eka, yang selalu menatapnya tajam, seperti ingin menerkam. Namun, ketakutan itu sirna, bila dia mengingat bahwa mbak eka termasuk orang-orang yang dikaruniai Allah dengan penyakit autisnya. Karunia? Dita menganggap, anak yang autis adalah karunia yang harus dijaga oleh keluarga serta orang-orang disekelilingnya. Sudah 30 tahun, mbak eka seperti ini. Tak ada keluhan yang dilontarkan ibu kosannya. Ibunya Cuma berkata, “dia anak surga,
anak yang dititipkan oleh Allah untuk mengingat betapa banyaknya dosaku, mbak eka juga tak pernah pergi. Satu-satunya orang yang hingga ibu tua seperti ini masih di sisi Ibu. Semua sudah meninggalkan Ibu. Mbak Rini, anak pertama dari suami pertama, sibuk dengan kerjanya walau rumah berdampingan. Edo, tak pernah mengerti bagaimana hidup susah. Ingin enaknya saja. Suami ibu? Ibu sudah memutuskan untuk tak mengingatnya. Hanya karena sebuah benda keramat, dia berani meninggalkan ibu”


“mbak eka, jalannya yang cepat ya…” ucap dita pelan sambil menggandeng mbak eka di supermarket di kawasan elit Jakarta.

“iyee iyeee” balas mbak eka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline