Lihat ke Halaman Asli

Icha Yohana

gataudah

Toxic Positivity

Diperbarui: 16 Oktober 2020   21:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kesehatan mental itu sangatlah penting, karena setiap tahunnya ada 1 dari 4 orang di dunia yang mengalami gangguan kesehatan mental. WHO mengatakan “suicide is the second leading cause of death among 15 to 29 years old globally “.

Kalau kita berbicara ke Indonesia isu kesehatan mental sendiri masih dianggap sepele, misalnya orang yang mengidap depresi dibilangnya dia kurang iman, dibilangnya dia lemah ataupun dibilang dia kurang deket sama Tuhannya bahkan sampai ada yang disuruh untuk rukyah. Kalau kita dengar mengenai berita bunuh diri pasti abis itu orang bakal dihujat habis-habisan, imannya di judge, aqidahnya di shamming. Padahal dari kejadian itu kita harusnya tau seberapa berat beban yang harus dia pikul pada saat dia masih hidup. Dan harusnya kita juga bisa berempati akan hal tersebut.

Alih-alih membicarakan masalah ini dan mencoba mencari solusi nyata, masyarakat kita malah membiasakan diri terbelenggu dengan yang namanya Toxic Positivity.

 Pasti kalian juga pernah mengalami hal ini sih termasuk saya, dimana ketika kita curhat nih sama teman kita, mereka malah memberikan respon seperti “yang sabar ya”, ”yaudahlah gapapa nanti juga lupa, stay positive aja”, “coba khusnudzon deh”, “coba lebih bersyukur deh, karna bnyak yang jauh lebih parah daripada elu”. Atau bisa jadi kita yang berada diposisi teman kita ini, kita nyuruh teman kita untuk mengubur dalam-dalam emosinya atau perasaan negative mereka ketika mereka ada masalah.

Saya disini juga merasa bersalah, karena saya terlahir dari masyarakat yang mengatakan bahwa perasaan negatif itu buruk dan perasaan positif itu baik. Saya juga pernah diposisi dimana saya harus menahan emosi saya hanya karena saya tidak mau dibilang tukang ngeluh. Dan saya juga pernah diposisi dimana saya sedang dicurhati oleh teman saya dan jawaban sayapun tidak jauh beda dengan yang tadi “yaudah biarin aja”, “biar tuhan yang bales” dan bla bla bla semua itu hanya omong kosong.

Dan lama kelamaan saya juga sadar sendiri kalau ternyata saya juga sedang terbelenggu oleh adanya Toxic Positivity. Harusnya ketika saya sedang dicurhati oleh teman saya, saya bisa jadi pendengar yang baik dan memvalidasi perasaan teman saya itu. Semestinya perasaan manusia itu tidak bisa di kategorikan segampang itu, perasaaan negatif yang kita rasakan itu ternyata tidak selamanya buruk, dengan kita merasakan dan menerima perasaan tersebut entah itu marah, sedih, ataupun kecewa membuat kita tau bagaimana caranya untuk merespon perasaan tersebut. Dan kita juga bisa lebih tau bantuan yang kita butuhkan untuk kesehatan mental kita. Menyangkal terhadap perasaan kita sendiri itu tidak baik seperti pura-pura bahagia terus, pura-pura positif terus, itu akan membuat kita jadi tertekan dan pastinya tidak akan menyelesaikan masalah tersebut, justru akan memperparah masalahnya karena setiap datangnya masalah lalu kita merasakan semua perasaan-perasaan negatif ini, semua itu kita kubur dalam-dalam karena kita dituntut untuk selalu positif, dan lama kelamaan emosi itu juga akan meledak.

Intinya adalah bagaimana cara kita untuk mengakui, menerima, membuktikan, dan memberi perhatian pada emosi kita sebenarnya adalah tindakan mencintai diri kita sendiri dan cara kita untuk berubah. Mulai sekarang kalau kalian lagi kesel terus merasakan kecewa dengan keadaan, sesuatu atau seseorang lalu kalian marah atau sedih itu semua tidak masalah, kalian tidak usah merasa kalau itu hal buruk, itu semua sangatlah normal dan itu sangatlah natural. Dengan memiliki perasaan negatif tidak membuat kalian menjadi orang yang negatif.

Pesan yang terpenting adalah ketika kita dapat curhatan dari teman tolong berhenti untuk berbicara mantra positif, karena semua itu tidak akan menyelesaikan masalah teman kita. Cukup menjadi pendengar yang baik dan memvalidasi perasaan teman kita.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline