Hampir setiap hari, kita melihat di berbagai tempat, baik itu iklan tv, majalah, internet, percakapan orang lain, obrolan keluarga, obrolan dilingkungan pertemanan, tidak sedikit yang hobbi untuk melakukan brainwashing berupa dorongan, terutama kepada anda yang masih lajang untuk segera menikah.
Tanpa disadari, hal ini menciptakan sebuah fenomena delusional happinessyang sebenarnya, didalam kalimat ajakan tersebut, terselip sebuah rasa insecurity. Wanita lajang di era sekarang, banyak “dihantui” kecemasan, terutama soal umur, jodoh, pernikahan dan kecantikan. Ditambah dorongan dari keluarga atau teman yang lebih senang bertanya “kapan nikah?” dibandingkan “kapan lanjut S2?”
Yang saya amati, wanita banyak sekali dijadikan objek meme ataupun bahan topik tulisan diberbagai artikel serta majalah wanita tentang ajakan untuk segera menikah muda. Hal ini menjadi sangat efektif, terutama bila target mereka adalah para jomblo insecure yang takut akan kesendirian, yang mencemaskan apa yang orang lain pikirkan.
Strategi “brainwashing” dan “delusional happiness” ini mirip produk kosmetik yang banyak bercerita soal keunggulan-keunggulan produknya, tanpa pernah memberikan pernyataan bahwa produk tersebut ada kemungkinan tidak akan cocok untuk semua jenis kulit. Sebuah paradigma yang sangat absurd, karena realitas yang terjadi di lingkungan sosial, tidaklah senyata yang mereka pikirkan dan cemaskan.
Dorongan untuk menikah, hampir semuanya berkutat seputar faktor agama, kesehatan, iming-iming kehidupan bahagia sampai akhir, bisa bermesraan halal dan lain sebagainya. Masih sedikit sekali artikel yang membahas soal kematangan emosional, kecukupan finansial, kemampuan problem solving sebelum memutuskan untuk memasuki kehidupan pernikahan.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena hal-hal krusial seperti itu tidak akan anda temukan di booklet pre-wedding manapun. Kalaupun disebutkan, tidak akan ada wedding organizer yang laris manis diserbu konsumen.
Selama ini, kita banyak diarahkan untuk berpikir bahwa “menikah adalah suatu jalan menuju kebahagiaan”, dan ketika sepasang pasangan masuk didalamnya, bertemu dengan konflik yang sesungguhnya, mereka baru sadar, kebanyakan dari mereka menjadi panik dan bingung harus berbuat apa, terlebih saat mereka tidak pernah mempersiapkan diri untuk menghadapi ribuan konflik yang pasti akan terjadi, tetapi tidak pernah terpikir sebelumnya.
Sejatinya, pernikahan adalah sebuah keputusan yang sangat personal, tidak sepatutnya hal se-sakral itu menjadi bahan sindiran halus apalagi tekanan untuk menyegerakannya.
“Aku udah nikah, kamu kapan?”
“Kalau abang gak siap juga, eneng siap bawa abang ke KUA”
“Kapan kamu bisa kasih mama cucu?”