Lihat ke Halaman Asli

Icha Tri Hasri

Mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab

Selma Karamy, Kita dan Budaya Patriarki yang Tak Kunjung Usai

Diperbarui: 20 Juni 2020   22:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Yang Abadi Sepanjang Zaman, salah satu julukan bagi sang legenda Kahlil Gibran. Dilahirkan di Beshhari, Lebanon pada tahun 1983 di tengah keluarga Kristen Maronit.

Pada usianya sepuluh tahun ia, ibunya beserta tiga saudaranya pindah ke Boston, Amerika Serikat dan menetap di sana karena masalah perekonomian keluarga.

Namun, Gibran juga sempat pulang ke Lebanon untuk bersekolah di Beirut. Setelah itu ia kembali ke Boston dan sempat tinggal di Paris dan Naw York. Dengan begitu, Gibran tumbuh dalam kebudayaan Arab dan juga Barat semasa hidupnya.

Sastrawan beraliran romantik ini telah melahirkan banyak karya yang amat epik. Salah satunya ialah Sayap-sayap Patah, sebuah novelet yang diterbitkannya pada 1912, saat usianya masih dua puluh tahun.

Sayap-sayap Patah kerapkali dianggap sebagai otobiografi Gibran. Novelet ini mengkisahkan tokoh aku (Kahlil Gibran) yang jatuh cinta pada Selma Karamy.

Namun kisah cintanya mesti diakhiri ketika kisahnya baru saja dimulai, lantaran Selma Karamy diminta menikah dengan keponakan Uskup, Mansour Ghalib.

Ia dan ayahnya jelas tak bisa menolak, karena pada saat itu, menikah dengan keluarga pemuka agama jelas adalah suatu kehormatan, meski ada salah satu pihak yang tidak menghendakinya. Dan menolaknya hanyalah berujung malapetaka.

Novelet ini tak hanya mengisahkan tentang kasih tak sampai antara tokoh aku dengan Selma Karamy. Namun juga membicarakan nasib perempuan, penindasan, dan ketidakadilan di Lebanon.

Dikisahkan bahwa Selma Karamy dilamar bukan karena Mansour Ghalib mencintainya, melainkan karena ayah Selma yang kaya raya. Selma juga tak mendapat perlakuan baik dalam pernikahannya. Ia sering mendapat perlakuan kasar dari suaminya sendiri. Budaya patriarki yang mengakar dan pengaruh status suaminya yakni "keponakan pemuka agama" menekan Selma agar ia tetap menjalani hari-harinya dengan sekuat tenaga, meski ia mendapat perilaku buruk sepanjang waktu.

Ditambah lagi dengan lima tahun pernikahannya dan ia belum juga mengandung seorang anak. Walau pada akhirnya Selma mengandung setelah penantian panjangnya. Masyarakat mengomentarinya lantaran keadaan itu. Tanpa tahu apa yang sebenarnya dialami oleh Selma dan bagaimana ia berusaha untuk tetap melanjutkan hidup meski dalam keadaan tertekan.

Budaya patriarki dengan sangat jelas digambarkan sebagai penyebab hilangnya kebahagiaan Selma. Terpaksa tak bisa bersatu dengan orang yang dicintainya, mengorbankan hidupnya demi menjaga nama baik, dan pada akhirnya ia kehilangan ayahnya yang hidupnya berakhir dalam sunyinya penderitaan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline