Lihat ke Halaman Asli

Tiga Caleg dari NTB Somasi Presiden dan KPU terkait Pemilu…

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sejumlah calon legislatif (Caleg) di NTB mendesak pemilu dilaksanakan secara serentak. Para caleg, yakni M Ihsanul Wathony Caleg DPRRI Dapil NTB dari Partai Bulan Bintang, Lalu Wirasakti Caleg DPRD Provinsi NTB Partai Nasdem, dan Muhammad F Hafiz Caleg DPRD Kota Mataram dari Partai Persatuan Pembangunan, meminta agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan KPU melakukan perubahan jadwal Pemilu agar Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dilaksanakan secara serentak tahun 2014 ini. Kepada sejumlah wartawan, para caleg yang didampingi Advokat Munzirin SH Direktur LBH Solidaritas Indonesia Cabang Mataram, mengirim somasi yang ditujukan kepada Presiden RI, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Jakarta, dan Ketua KPUD Provinsi NTB di Mataram. Munzirin mengatakan, penetapan jadwal pemilu secara terpisah oleh KPU, yakni Pemilu Legislatif tanggal 9 April 2014 dan Pemilu Presiden tanggal 9 Juni 2014, merupakan perbuatan melawan hukum karena bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam UUD 1945. “Desakan pemilu serentak ini diajukan agar hasil pemilu 2014 ini terjamin keabsahannya,” jelas Munzirin, Rabu (12/2) di Mataram. Sebab, sebagaimana ketentuan UUD 1945 khususnya Pasal 22E, mengatur bahwa Pemilihan Umum diselenggarakan setiap lima tahun sekali untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden. “Jika pemilu (legislatif dan Pipres) dilaksanakan secara terpisah, tidak menutup kemungkinan hasil pemilu akan menuai keberatan atau gugatan hukum atas keabsahan Pemilu Legislatif. Ini tentunya dapat menyebabkan hak mereka yang terpilih sebagai anggota parlemen menjadi tidak terpenuhi meskipun kami telah memenuhi segala persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang dan peraturan yang ditetapkan oleh KPU,” terang Munzirin. Dengan demikian, tentu hak-hak hukum para kliennya itu terang Munzirin, menjadi sangat dirugikan oleh ketidakpastian yang disebabkan adanya perbedaan pandangan terhadap tafsir UUD 1945 terkait pelaksanaan Pemilu yang ditentukan setiap lima tahun sekali. Untuk itulah, demi menghindari terjadinya pelanggaran hukum yang sangat serius yang akan berakibat sangat fatal pada proses kehidupan berbangsa dan bernegara (Pemilu yang illegal) dapat diatasi dengan menunda atau melakukan perubahan jadwal pelaksanaan Pemilu Legislatif dan menggabungkannya dengan Pemilu Presiden. “Melakukan perubahan jadwal pemilu ini merupakan kewenangan sepenuhnya dari Komisi Pemilihan Umum sebagaimana ditentukan oleh UU No 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu,” jelas Munzirin. Desakan penyelenggaraan pemilu serentak ditujukan kepada Presiden RI berdasarkan ketetuan pasal 4 ayat (1) UUD 45 bahwa Presiden adalah merupakan Kepala Pemerintahan, dan berdasarkan ketentuan UU No. 15 tahun 2011 Presiden bertanggung jawab atas proses Pemilu, diantaranya dengan (melalui Panitia Seleksi) memilih anggota KPU. “Selain itu, berdasarkan Ketentuan Pasal 8 UU No. 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, Tugas dan Kewenangan KPU antara lain adalah merencanakan program dan anggaran dan menetapkan jadwal Pemilu,” ujar Munzirin. Sebagaimana diketahui, sejumlah warga negara mengajukan uji material terhadap Pemilu Presiden yang diselenggarakan secara terpisah dengan Pemilu Legislatif sebagai pasal-pasal yang bertentangan dengan konstrtitusi (UUD 1945) kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Oleh MK, sesuai putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 tertanggal 23 Januari 2014, pemilu serentak sebagaimana ketentuan UUD 1945 khususnya Pasal 22E, akan dilaksankan pada tahun 2019. Lebih lanjut menyangkut hal itu, Munzirin menjelaskan pula bahwa penyelenggaraan pemilu terpisah secara faktual, berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh berbagai pihak menyebutkan Pemilu Legislatif dan Pemiu Presiden yang dilaksanakan secara serentak dapat menghemat keuangan Negara sebesar Rp 5 triliun hingga Rp 10 triliun, jika dibandingkan dengan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden yang diselenggarakan secara terpisah. Selain itu, penyelenggaraan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden secara terpisah adalah merupakan tindakan menghambur-hamburkan keuangan negara di tengah kondisi bencana dan krisis ekonomi yang dirasakan oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Utamanya terkait dengan masalah jaminan menikmati pendidikan serta jaminan kesehatan yang masih mahal serta kondisi keuangan negara yang belum dapat memberikan jaminan akan pemenuhan hak-hak rakyat tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline