Lihat ke Halaman Asli

Namanya Hujan

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Namanya hujan. Dalam novel atau cerpen ia kerap menjadi suatu penghadir suasana yang romantis. Pada puisi pun demikian adanya, ia adalah hal sentimentil. Baik ia dalam deras, atau apalagi rintik. Bahkan ia memiliki istilah khusus: gerimis. Entah mengapa gerimis yang bersijingkat itu memikat siapa saja (tidak cuma pujangga). Apakah karena gerimis itu selalu menggoda orang tuk berlari-lari kecil dibawahnya? Ia juga tidak meminta orang untuk membuka payung. Aneh. Atau apakah ia isyarat untuk sesuatu yang akan hadir yang lebih serius? Seperti intro, begitu. Seperti musik penghantar yang mengiringi seseorang memasuki ruang batin yang lebih sakral dan subtil. Ah, tak tahulah. Seperti puisi, ia memiliki rahim makna, yang tak mungkin dilahirkannya.

Namanya hujan. Dalam koran dan televisi ia kerap menjadi tokoh biang kerok terjadinya banjir. Mengotori rumah-rumah. Membawa penyakit. Merenggut nyawa. Mengapungkan semuanya. Tak ada yang indah apalagi romantis. Air coklat yang hanya menyisa lumpur becek. Ia turun dari bukit-bukit dan daerah-daerah yang tinggi. Menuruni lereng-lereng, berkelok sana sini. Tak peduli menabrak apa dan siapa, pokonya ia terus menerjang. Seperti memiliki hasrat yang kuat yang tak dapat dibendung, bahkan oleh bendungan beton setebal apapun. Kuat. Menggelora.

Namanya hujan. Kami pernah bertemu di sepenggal mimpi menjelang pagi. Kami duduk berdua berdekatan, berhadapan. Lututnya menyentuh lututku.Ia bercerita bahwa ia sedang bingung. Ia ingin memperbaiki citranya. Ia menyukai pujangga. Tapi ia benci pada wartawan. “sungguh kejam!!!”, katanya. Ia benci dengan kata-kata “merendam rumah-rumah”, “membawa penyakit”, “menjebol tanggul”, “merusak sawah petani..”. Kata-katanya tertahan. Matanya basah saat ia mengucapkan kata “petani”. Aku seperti paham dengan basah itu. Ia merasa bahwa ia yang membantu benih-benih padi itu tumbuh. Jagung, kacang tanah, kacang ijo, kedelai, mentimun, labuh, sayur-sayuran. Semuanya. Semuanya menjadi dapat bertunas oleh karena guyurannya.

Sesaat hening. Basah itu meleleh sudah. Menggenang di pelupuk matanya dan lalu tumpah. Banyu bening itu menuruni lekukan pipinya. Jatuh menetes. Sesaat sebelum butir air itu benar-benar jatuh, tiba-tiba telapak tangannya menggapai telapak tangan kananku, sehingga telapak tangan kami bertumpukan. Telapakku di atas, sementara telapaknya di bawah. Kurasakan telapaknya mencekung, membentuk lembah, mengisyaratkan agar aku mengikutinya. “Tes..”. Akhirnya air itu menetes di telapak tanganku yang melembah. Ia mengarahkan cekungan telapak tangan kami menadahi jatuhnya butiran air itu.

“Aku cuma menetes begitu. Tak mungkin yang begitu itu bisa menjadi banjir, merendam rumah-rumah, menghanyutkan semuanya, apalagi sampai ada yang mati karenaku. Aku cuma menetes begitu. Tuhan telah memberiku kadar segitu. Tidak kurang tidak lebih. Aku hanya menaati titah-Nya. Tapi kenapa….”.

Entah terdorong oleh apa, tiba-tiba aku menyela kata-katanya dalam isak tangisnya itu, “Tenang….tenang…itu bukan salahmu. Itu akibat penebanngan liar dan habisnya daerah resapan hujan di puncak-puncak bukit akibat pembangunan villa, serta...”. Belum genap penjelasanku ia telah memotong, dan meneruskan kalimatnya. “Tapi kenapa semua itu dilakukan????”. Kata-katanya meninggi. Melotot. Agak menyentak, ia mengibaskan tangannya, sehingga telapak kami tak bertumpukan lagi.

Kaget. Aku terjaga sebelum waktunya. Kulihat telapak tanganku basah. Sambil mengingat-ngingat dan mengucek-ngucek mata, aku masih belum sadar: apakah ini mimpi. Kupukul-pukul pipiku meyakin-yakinkan bahwa ini nyata. Telapakku benar-benar basah. Ternyata memang ada air menetes dari atap kosku. Ada genteng yang pecah atau kurang tepat posisinya sehingga membentuk celah dimana air hujan bisa mbrojol.

Di luar hujan. Benar-benar hujan yang indah. Ku hampiri ia. Dari teras, kujulurkan telapak tanganku keluar. Serasa ia menjabatku, dan seperti bertanya, apakah aku pujangga atau wartawan…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline