Lihat ke Halaman Asli

Icha Nors

TERVERIFIKASI

ibu rumah tangga, pendidik

Saatnya Kembali Ke Handuk

Diperbarui: 17 Juni 2015   17:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Bisa dikatakan aku memang lagi apes, ke sebelah timur rumah menengok tanggul kali ketemu gunungan limbah diaper (popok bayi), keluar ke jalan raya ketemu orang berkendaraan berhenti pas di jembatan dan braaaaak……sekantong kresek jumbo berwarna putih berisi popok dijatuhkan ke sungai yang sudah mendangkal gegara sampah. Dan pagi ini sedang asyiknya antri membeli lauk untuk sarapan ke warung pinggir jalan, disusul perempuan tua dengan membawa kardus yang semula aku kira mau nitip gorengan atau makanan apalah ke warung, e….ternyata cuma mau membuang sampah rumah tangga yang sebagian besar berupa popok bayi maupun dewasa (pembalut) ke got sebelah warung. Huek….spontan tanpa bisa kutahan mencium bau anyir, pesing dan bau busuk dari sisa makanan ditambah penampakan dari dalam pembalut yang lepas dari gulungan. Ooo….merahnya!

Dulu, duluuuu sekali kaum hawa suka menggunakan “doek” sebagai penampung darah haidh. Para ibu juga memakaikan “doek” pada bayinya setelah habis dimandikan, biar tidak membasahi yang menggendong karena takut pakaian penggendong terkena najis air pipis si dedek. Aku mengenal doek sejak dapat haidh yang pertama, kakak yang mengenalkannya. Sebelumnya aku hanya mengenal hasduk (dasi pramuka) he..he..

Kata kakaku doek itu bahasa Belanda, doeken atau doekje artinya sepotong kain. Aku dan umumnya perempuan di kampungku sangat akrab dengan benda ini. Di pojok tali jemuran yang jauh dari pandangan mata biasanya aku menjemurnya setelah mencucinya dengan sabun mandi.

Aku tetap saja setia dengan doek meski sudah hadir popok instant beraneka merk. Aku hanya menggunakan pembalut buatan pabrik di saat-saat kepepet. Aku nyaman sekali menggunakannya, tak sekalipun mengalami alergi atau gatal-gatal karena memakainya. Tapi itu dulu ketika aku belum disibukkan oleh banyak urusan (lebih tepatnya karena malas mencuci hi..hi..).

Ya, kalau dipikir-pikir orang makin malas saja setelah semua fasilitas hidup makin lengkap dan instant.Berharap ada mesin yang bisa memompa air naik ke atas sehingga tak perlu menunggu berjam-jam mengisi bak mandi agar cepat sampai di tempat kerja tepat waktu, setelah ada pompa air ternyata masih juga telat. Bermimpi punya mesin cuci agar tangan tak usah ngucek dan bisa nyambi mengerjakan pekerjaan lain, sekarang bermimpi ada mesin yang bisa menjemur sendiri sekaligus merapikan dan memasukkannya ke lemari. Begitu juga setelah hadir diposable sanitary towels alias pembalut wanita sekali pakai, wanita begitu antusias menyambutnya.

Senang boleh saja dan memakainya sebagai alat penampung haidh paling praktis itu juga mubah. Tapi sudahkan kita memikirkan dampak lingkungan dan kesehatannya? Paling tidak memikirkan di mana membuang limbahnya yang paling tepat.

Diposable sanitary towels memang praktis, tapi siapa bilang dia sudah pasti yang terbaik? Sudah saatnya kita kembali ke handuk, ke flannel, ke doek yang tak kalah lembut. Jadikan pembalut instant sebagai alternative, bukan satu-satunya pilihan.

Itu saja yang bisa kutulis, semoga ada kompasianer lain yang berkenan mengulas tentang disposable sanitary towels ini lebih dalam ditinjau dari kesehatan dan keamananannya.

Salam selamat pagi




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline