Oleh: Icha Raydiah Cahyani
Perdebatan menunda atau melanjutkan pilkada serentak pada masa pandemi semakin konstruktif. Tidak terkecuali di Provinsi Banten, pasalnya sampai awal bulan Oktober 2020 kasus positif di Provinsi Banten semakin meningkat.
Berdasarkan data kasus pasien Covid-19 dari Kementrian kesehatan RI (13/10) kasus positif di Provinsi Banten terdapat 81 kasus baru, sehingga akumulasi kasus positif di Provinsi Banten sebanyak 7.148 kasus. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan penularan virus Covid-19 kian besar sehingga memicu desakan dari berbagai kelompok masyarakat untuk menunda pilkada Banten hingga proses tanggap darurat Covid-19 selesai.
Disisi lain partai politik di Banten menganggap penundaan bukanlah suatu solusi yang tepat karena proses tahapan pilkada sudah berlangsung "setengah jalan". Benar-benar memilukan pelaksanaan pilkada yang seharusnya menjadi momentum penting bagi rakyat untuk menentukan pemimpinnya dipaksakan tanpa memperhatikan kualitas dari pilkada itu sendiri.
Padahal kualitas akan mempengaruhi hasil dari pilkada, karena pilkada bukan hanya sekedar ritual prosedural melainkan harus dapat melahirkan kepala daerah yang berkualitas untuk menjamin tata kelola daerah yang baik dan perlu diingat bahwa hasil pilkada akan dirasakan oleh masyarakat dalam jangka waktu yang panjang.
Tindakan pemerintah yang terlalu memaksakan diri dalam melaksanakan pilkada ditengah pandemi Covid-19 bukanlah suatu upaya untuk menegakkan demokrasi, melainkan sebaliknya yaitu dapat menggerus kualitas pesta demokrasi itu sendiri. Dampak pertama yang dapat dirasakan yaitu minimnya kualitas interaksi antara paslon dengan masyarakat. Ini dikarena paslon dilarang untuk menggelar kampanye yang dapat memicu kerumunan massa. Kampanye yang saat ini dapat dilakukan yaitu dengan cara terbatas dan melalui media online atau daring.
Pelaksanaan kampanye online pun rasanya kurang efektif untuk mengambil hati rakyat hal ini terbukti sampai saat ini diantara 4 (empat) daerah yang akan melaksanakan pilkada di Banten yaitu Tangsel, Kabupaten Serang, Pandeglang dan Cilegon, kampanye online masih sepi peminat.
Padahal tahap pilkada sudah masuk pada masa kampanye yang berlangsung sejak 26 September yang lalu. Jika bukan kampanye secara online, cara apa yang digunakan paslon untuk menjual dirinya?
Tentunya ada kemungkinan bagi para paslon mencuri peluang untuk melakukan kampanye tatap muka, walaupun memang pada dasarnya kebijakan pilkada ditengah pandemi ini diiming-imingi dengan protokol kesehatan yang ketat, namun siapa yang dapat menjamin? Pemerintah sudah sibuk mengatur ruang demokrasi, sementara itu para paslon terlalu sibuk mengatur skema-skema kemenangan dibanding keselamatan.
Memang dalam pelaksanaannya tidak semua paslon seperti itu, tapi sudah ada bukti yang terlalu nyata, pada tahap awal pendaftaran pilkada saja sudah ada 5 (lima) paslon di Banten yang melanggar protokol kesehatan.
Miris sekali belum juga sah terpilih tetapi sudah membawa virus, seharusnya para paslon dapat menjadi contoh yang tauladan bagi masyarakat terutama dalam penerapan disiplin protokol kesehatan bukan malah sebaliknya melakukan pengerahan massa yang dapat membahayakan jiwa. Dalam situasi seperti ini sudah seharusnya pemerintah lebih mementingkan keselamatan rakyat daripada kepentingan elit politik.