[caption id="attachment_94913" align="alignleft" width="300" caption="picture from http://www.flock.com/"][/caption] Pagi ini, saya baru saja hendak mandi saat W datang. Wajahnya kusut. Tangannya menjinjing sebuah barang lumayan besar di dalam tas plastik. Saya minta ia duduk sebentar untuk menunggu saya mandi dan berpakaian. Saya harus cepat karena hanya tersisa waktu 30 menit lagi sebelum saya berangkat mengajar di Pesantren Daarul Uluum. Jujur saja, saya hanya sempat "membasahi" tubuh saya karena sabun tidak saya gunakan. Setelah itu, saya percepat langkah ke kamar dan berpakaian dengan tergesa. Baru kemudian saya temui W yang sudah duduk termenung di ruang tamu. Saya belum duduk di kursi dengan sempurna saat W, tanpa basa-basi, menyodorkan secarik kertas. Di sana tertulis keterangan dokter yang menyebutkan bahwa istrinya mengidap kanker rahim. "Di rumah saya tidak ada apa-apa lagi yang bisa saya jual pak. Hanya ada DVD player ini. Silahkan bapak ambil. Saya butuh ongkos untuk mengantar anak saya sekolah serta untuk mendatangi kembali teman-teman saya untuk meminjam uang," demikian W menjelaskan deritanya sambil menangis. Istrinya harus segera dioperasi dan membutuhkan biaya sangat besar. Ya Allah, saya langsung terhenyak. Ia tidak meminjam uang kepada saya karena 2 hari sebelumnya ia sudah datang ke rumah saya untuk keperluan itu. Namun, saat itu, saya tidak dapat menolongnya karena saya memang tidak punya uang. W adalah tetangga saya. Masih satu RW, namun beda RT. Ia penganut Katolik yang sehari-harinya bekerja menjadi staf seorang pendeta di salah satu gereja. 2 hari yang lalu W datang meminta bantuan saya karena sedang memiliki masalah keuangan. Ia harus memindahkan makam ayahnya ke tempat lain. Pemindahan makam orang tuanya itu harus secepatnya dilakukan karena jasad sang ayah dimakamkan di tanah wakaf. Sang pemilik wakaf tidak rela ada mayat seorang non muslim dikuburkan di situ. Ketidakrelaan itu dikuatkan lagi oleh keluarnya fatwa dari salah seorang tokoh ulama sekitar yang menyatakan haramnya menggunakan tanah wakaf untuk kuburan seorang non muslim. Hanya ada waktu 3 saja hari bagi W untuk memindahkan jasad ayahnya itu. Jika tidak, pemilik wakaf bersama penduduk sekitar akan membongkarnya. Masalahnya, untuk keperluan itu, W sama sekali tidak memiliki uang untuk membiayainya. Menurut W, sudah tidak terhitung berapa orang yang dimintai tolong olehnya. Namun semuanya nihil. "Permohonan bantuan lintas agama", begitu W mengistilahkan maksud kedatangannya ke rumah saya saat itu. Saya hanya bisa tersenyum geli saat mendengar "istilah" itu. Ia terpaksa datang kepada saya dan pesantren karena tidak tahu harus datang ke mana lagi. Para pendeta di gereja tempatnya bekerja angkat tangan. Bahkan, para jemaat gerejanya pun tidak ada yang dapat menolong. Saya sangat tersentuh mendengar ceritanya itu. Saya ingin membantunya. Namun, celakanya, saya sedang tidak punya uang!... Bahkan, sesaat sebelum W datang, saya baru saja mau berangkat mendatangi seseorang untuk tujuan yang sama: meminjam uang! Betul, saya harus membeli gas karena istri saya dari pagi tidak bisa memasak. Gas habis dan saya tidak punya uang... Saya terenyuh, sedih, tapi tetap menjaga senyum. Walhasil, usaha W mendangi saya pun berbuah nihil. Ia tinggalkan rumah saya dengan wajah murung. Saya hanya bisa menguatkan hatinya untuk tidak patah semangat. "Jangan takut, pertolongan Tuhan kadang datang pada detik-detik terakhir", hanya itu ucapan terakhir saya kepadanya. Kini pria ini duduk kembali di depan saya sambil menangis tersedu-sedu. Vonis dokter tentang keadaan istrinya semakin menambah berat hidupnya. "Saya sadar saya berbeda keyakinan dengan bapak, tapi saya betul-betul butuh pertolongan", ratapnya lagi di sela tangisannya. Duh, urusan membantu tetangga tidak ada kaitannya dengan masalah keyakinan agama pak, ujar saya dalam hati. Hewan yang sedang tersiksa karena terjerat sesuatu saja wajib ditolong, apalagi manusia. Saya betul-betul ingin membantunya, tapi bagaimana caranya? Pria ini membutuhkan uang yang jumlahnya menembus angka jutaan. Segera saya beranjak ke kamar untuk membongkar "brangkas" uang saya, kosong.. Saya rogoh beberapa kantong celana saya yang menggantung di pintu kamar: Ahhaaaaa, masih ada terselip 60 ribu rupiah. Saya ambil pecahan yang 50 ribu dan saya sodorkan kepadanya. "Pak W, saya hanya punya uang sejumlah ini. Terimalah. Mudah-mudahan cukup untuk ongkos bapak mengantar anak ke sekolah dan mendatangi lagi teman-teman bapak. Saya yakin. Uang yang saya berikan ini akan bertambah entah dengan cara apa. Tuhan selalu punya cara sendiri untuk menjamin hidup makhluknya..." Hanya itu yang bisa saya katakan. Pria ini pamit dan meninggalkan rumah saya masih dalam keadaan menangis... Haah, hidup memang terkadang pahit...[PS]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H