Lihat ke Halaman Asli

Ke Manakah Mainanku Dulu?

Diperbarui: 24 Juni 2015   18:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kemanakah Mainan Ku Dulu?

Berlari kesana kemari menikmati hembusan angin yang membuat rambutnya yang terurai berkembang pelan. Bocah gadis itu bersama teman-temannya menikmati masa kanak-kanaknya dengan begitu menyenangkan. Terlihat dari senyum di wajahnya yang mengembang manis.

Gambaran masa kecil pada zaman dahulu yang begitu menyenangkan dengan beragam permainan tradisional. Bermain layang-layang di tanah lapang, saling berkejaran saat melihat layang-layang yang jatuh dan berebutan satu sama lain. Ceria, penuh dengan celoteh anak-anak yang masih lugu belum mengenal modernisasi permainan.

Menyeberangi sungai, menyambut gemericiknya air yang riuh karena dangkalnya. Membawa mata kail dengan tongkat bambu, bocah-bocah berjalan pelan seolah tak mau ikan ikan berlompatan enggan untuk ditangkap. Bak para petualang handal yang sedang berburu mencari mangsanya, menderik pelan tak ingin hewan buruannya lari dari sergapan.

Saat musim kelereng tiba, halaman rumah dipenuhi oleh kepala-kepala para bocah polos berkantong tebal yang terisi puluhan biji kelereng. Saku-saku di celana yang mereka kenakan tak ada yang sedikitpun bercelah, semua terisi penuh oleh kelereng. Ramai, halaman rumah penduduk dipenuhi oleh keceriaan anak-anak.

Terlebih saat liburan sudah tiba. Setiap pagi jalan-jalan setapak di pedesaan dipenuhi dengan gemuruh derit kayuhan sepeda mini yang beraneka motifnya. Menyusuri jalan-jalan kecil berkeliling desa. Segarnya udara pagi perlahan ikut masuk bersama sejuknya udara yang dihirup pelan. Masa kecil yang menyenangkan, sederhana namun kreativitasnya tak terbatas oleh kecanggihan zaman.

Pemandangan seperti itu nampaknya kini mulai tergeser oleh modernisasi zaman yang semakin hari semakin menggerus kesederhanaan.

Bila melihat anak-anak sekarang mungkin sudah tidak mengenal lagi mainan-mainan yang membutuhkan ketrampilan dan kekompakan dalam bermain. Seperti permainan bola kasti, sebuah permainan beregu yang mengandalkan kekompakan dan kelincahan pemainnya. Bermain kapal-kapalan atau perahu yang biasanya mereka buat dengan memanfaatkan kulit buah-buahan yang tersisa atau dari pelepah pisang. Bermain kapal-kapalan seperti itu tentu membutuhkan imajinasi dan menumbuhkan kreativitas anak-anak. Tetapi apa yang terjadi dengan hari ini?

Anak-anak tidak lagi mengerti rasanya seperti apa memiliki mainan yang dihasilkan dari usaha sendiri. Bagi anak-anak, membuat layang-layang bersama-sama dengan teman menjadi hal yang menyenangkan. Mencari bambu bersama, merautnya, membuat kerangka, mengikatnya dengan benang, dan banyak proses yang dilakukan untuk menghasilkan satu buah layang-layang. Kemudian dengan bangga mereka bersama-sama berlarian menerbangkan layang-layang itu.

Kesenangan anak-anak dulu, tidak lagi dirasakan oleh anak-anak sekarang yang banyak ditemukan di kota. Di sudut-sudut kota, gedung-gedung mewah telah mengalihkan ketangkasan mereka. Bagaimana mungkin mereka bisa bermain dengan leluasa tanpa dibatasi oleh ruang. Mau menerbangkan layang-layang, tak ada lahan luas berangin yang bisa membuat layang-layang terbang tinggi. Bermain di sungai, sudah tidak ada lagi di kota-kota besar. Sungai-sungai sudah ditimbun menjadi bangunan gedung hotel berbintang lima. Kalaupun ada sungai-sungai sudah kotor, tercemari oleh sampah-sampah, dan baunya membuat orang jijik bila melihatnya.

Anak-anak sekarang lebih menikmati hal-hal yang bersifat praktis. Mereka lebih memilih jenis mainan yang canggih daripada harus repot-repot mencari bahan-bahan dari alam. Bermain game on line nampaknya lebih menarik perhatian mereka ketimbang harus capai-capai berkeringat usai berlarian bermain bola kasti.

Miris memang bila melihat perbandingan anak-anak zaman sekarang dengan anak-anak desa zaman dulu.

Anak-anak sekarang banyak berdiam diri di rumah, duduk manis di depan komputer memainkan jari-jari mereka di atas keyboard. Mengenal dunia maya, berselancar di internet, chatting dengan teman-teman yang mereka kenal melalui sosial media yang abstrak keberadaannya.

Mereka lebih lihay memainkan jari lentik menekan tombol-tombol stik Play Station hadiah ulang tahun atau bermain angry bird di tab pemberian orang tua mereka.

Dan tak jarang dari mereka yang masih berusia anak-anak tetapi sudah berkacamata tebal. Ya, itulah efek kecanggihan teknologi. Sibuk dengan gadget nyamembuat mereka tak lagi peka dengan lingkungan sekitar. Itulah dilema modernisasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline