Lihat ke Halaman Asli

Dua Budaya Bersanding Dalam Satu Panggung di Kedatuan Luwu

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14276571851232241965



iNews – Palopo. Halaman Kedatuan Luwu, Sabtu malam 28/03 ramai dipadati warga Palopo yang ingin menyaksikan kolaborasi seni antar 2 budaya yakni Tionghoa dan Luwu bersanding  diatas satu pentas di gelaran malam budaya bertema Bersama Kita Satu Dalam Bingkai Adat dan Budaya Tana Luwu.

Dibuka oleh  Tari 7 Bidadari dan Tari Seribu Tangan yang bernuansa Mongolia.  Acara yang digelar masih dalam kaitan Hari Raya Imlek Cap Go Meh dimana lembar sejarah I Lagaligo tidak bisa dipisahkan dari adat tradisi Tionghoa karena konon Lagaligo mempersunting putri raja dari Tiongkok bernama We Cudai.

Penjemputan Datu Andi Maradang Mackulau dihiasi prosesi ritual adat  serta lakon I Lagaligo dalam musikalisasi dan kolaborasi tari dua budaya berbeda, dikisahkan Lagaligo pulang kampung setelah merantau dari Daratan Tiongkok dan mempersunting putri cantik jelita disana. Penonton disuguhi tarian kontemporer dan adaptasi budaya Luwu dan Tionghoa oleh pihak istana dan Yayasan Budi Bhakti.

Kehadiran barongsai membawa hiburan tersendiri karena kesenian tradisional ini terbilang cukup lama dan menjadi daya tarik lewat gerakan-gerakannya yang atraktif namun kadang kocak. Ribuan warga yang berbaur dari berbagai etnis terlihat antusias menonton dan mengambil gambar melalui perangkat handphone yang mereka bawa.

Produser dan Sutradara event ini, Andi Sulolipu yang akrab disapa Lolip  menyatakan pada awak media kehadiran dua etnis dalam malam budaya ini wujud dari niat kebersamaan kita serta untuk membina kembali dan menjalin silaturahmi, bersatu dalam bingkai adat budaya Tana Luwu,  ini membuktikan betapa agungnya budaya itu sendiri meskipun kita berbeda-beda. “Dalam konteks jaman kini, kita hidup dalam etnis yang beragam, bahwa perbedaan bukanlah halangan untuk hidup bersama membangun negeri ini utamanya Tana Luwu lewat falsafah Sipakalebbi Sipakatau dan Sipakainge.  Kita tidak boleh membuat gap-gap baru, lewat kebersamaan, kita liat sendiri acara berlangsung tanpa pengamanan yang ketat, masyarakat dengan keceriaan menyaksikan acara hingga usai. Ini yang harus kita ciptakan terus menerus,” imbuhnya lagi.

Bagi Andi Anton, budayawan,  acara malam ini adalah reformasi budaya. Selama 30 tahun orde baru, budaya kesenian Tionghoa dilarang dipertontonkan.”Kita hidup dalam alam budaya yang kotor.  Bagi saya pertunjukkan malam ini adalah cara membersihkan kembali yang kotor-kotor tadi. Naskah kuno mitologi I Lagaligo adalah manuskrip terpanjang di dunia, kitab  itu menyebut Cina sebagai counterpart, bagian dari budaya kita, jadi di masa orde baru kita dalam suasana pembusukan budaya. Ini adalah cara untuk mengembalikan budaya itu. Ini benefit oriented, sesuatu yang besar sekali manfaatnya. Ini bukan profit oriented tapi asas manfaatnya luar biasa,” pungkasnya.

(@iccank_Asli)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline