Lihat ke Halaman Asli

Icarestika Waluyani

Mahasiswa Ilmu Kesehatan Masyarakat

Kegigihan Pedagang Sate Pinggiran demi Memenuhi Kebutuhan Keluarga dan Sekolah

Diperbarui: 23 Februari 2021   08:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

( Sumber : diedit dengan canva, 22/02/21, 08:30) 

Siang itu, panasnya matahari terasa membakar kulit. Remaja itu baru saja pulang dari sekolahnya. Berbaju putih dan bercelana biru, ia menyusuri jalanan ramai yang sesak kendaraan. Terlihat tetesan keringat dari dahinya mengalir deras. Sambil menggendong tas lusuh yang ada di punggungnya, ia berjalan cepat - cepat, seakan berlari agar bisa sampai di rumah, tujuannya. Rumah itu adalah rumah pembuatan sate dan makanan lainnya.

Setelah sampai, ia melangkah masuk dan hilang di balik pintu. Tak lama berselang, ia mengenakan baju kokoh dan celana panjang dengan membawa keranjang berisi sate. Tidak lupa, peci yang membuatnya semakin gagah, ia kenakan sebelum pergi bekerja. Sesudah makan siang, ia memulai kembali perjalanan menuju tempat biasa menjajakan dagangan. Kaki kecil yang terasa lelah tak membuatnya berpikir untuk kembali ke rumah. Semangat yang melekat di dada remaja tersebut membuatnya terus melangkah cepat dengan senyum menawan. Sambil berjalan, ia menawarkan dagangannya kepada semua orang yang berpapasan dengannya.

Remaja itu bernama Apri. Ia adalah seorang siswa kelas 7 Mts. Sekolahnya terletak di jalan Limau Manis, Kecamatan Tanjung Morawa. Jarak dari rumah ke sekolahnya sangatlah jauh. Jika ingin cepat sampai, ia harus melewati jalan besar. Rumahnya terletak di jalan Bandar Labuhan, Desa Tanjung Morawa A, Kecamatan Tanjung Morawa.  

Sekitar 40 menit berjalan ke tempat kerja, ia duduk sebentar untuk mengistrirahatkan kakinya. Duduk di bawah lantai supermarket atau biasanya ia duduk di bawah tangga. Terlihat bajunya yang mulai lusuh dan nafasnya yang tersenggal menandakan ia kelelahan. Tidak ada satu pun minuman yang ia bawa karena ketiadaan biaya untuk membelinya. Menarik nafas perlahan merupakan cara Apri untuk menghilangkan rasa letihnya.

Setelah rasa lelahnya berangsur-angsur pulih, Apri segera menawarkan dagangannya kepada orang-orang yang ingin masuk dan keluar dari supermarket. Bersamaan dengan itu, ternyata banyak teman-teman Apri yang juga berjualan. Namun, tak sedikit pun Apri merasa khawatir tentang rezekinya. 

Nyatanya dalam pekerjaan, mereka selalu tolong menolong karena berasal dari latar belakang keluarga yang sama dan rumah yang berdekatan. Tidak mudah menawarkan dagangan, ada yang menawar dengan harga sangat murah, ada yang tiba-tiba tidak menjadi membeli, sedih memang saat mendengarnya.

Hari semakin sore dan langit nampak kemerahan, pembeli yang berlalu lalang hanya sebagian besar yang menghampiri dagangannya,namun belum ada hasil yang mencukupi. Guratan sedih dan embun di mata tercetak jelas di wajah. 

Bagaimana lagi ia harus menjajakan dagangannya, kemana lagi langkah ini harus berlari. Tidak mudah baginya untuk terus menahan lapar dan haus saat orang lain bisa memakan jajanan dan meminum minuman yang menyegarkan di hadapannya. Namun, semua ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga dan biaya sekolah.

Pikirannya menerawang dan menyibak alasan mengapa di usia yang masih sangat kecil ia harus bekerja. Teringat, bahwa keluarganya bukanlah berasal dari kalangan berada. Ayahnya hanya buruh kasar biasa yang upahnya tidak selalu ada. Ibunya juga bukanlah orang sosialita, tetapi hanya tukang cuci pakaian tetangga. Sehari-harinya, makanan yang dimakan adalah hasil pendapatan di hari itu juga. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline