Lihat ke Halaman Asli

Cerdas dan Merdeka

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

139184269273390293

[caption id="attachment_310922" align="aligncenter" width="300" caption="Bung Karno"][/caption] "Penduduk Bumiputera menjadi suatu bangsa yang terdiri dari kaum buruh belaka dan Hindia menjadi buruh antara bangsa-bangsa." - Soekarno, mengutip Prof. van Gelderen dalam Indonesia Menggugat (1930). Pledoi Indonesia Menggugat tersebut disusun dan ditulis Soekarno dari balik bui untuk dibacakan dalam persidangannya di depan persidangan Landraad Bandung, 1930. Kala itu, Soekarno bersama tiga orang rekannya yang tergabung dalam Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) digiring ke muka pengadilan kolonial karena dituduh hendak menggulingkan pemerintahan Hindia Belanda. Dalam pledoinya tersebut, Soekarno memaparkan ketidakadilan yang diterima bangsa Bumiputera atau inlander oleh bangsa penjajah, dan dengan semangat berkobar menentang kolonialisme dan imperialisme. Akhirnya, pada tahun 1945 bangsa Indonesia memperoleh kemerdekaannya. Kemudian pada momen itu pula dirumuskan tujuan nasional Indonesia, yang dicantumkan dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-4, yaitu: Membentuk suatu pemerintahan Negara Republik Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; Memajukan kesejahteraan umum; Mencerdaskan kehidupan bangsa; dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Tujuan-tujuan tersebut dirumuskan oleh para founding fathers Negara Republik Indonesia untuk menjadi pedoman bagi penyelenggaraan negara Indonesia. Namun, sebuah ironi agaknya terjadi pada masa kini, di kala Indonesia menyongsong dekade ke-7 kemerdekaannya. Tahun 2013 lalu, terjadi perdebatan mengenai Undang-undang nomor 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi yang mencapai meja Mahkamah Konstitusi. Esensi perdebatan sebenarnya berpusat pada otonomi pengelolaan kampus, namun, satu permasalahan lebih mendasar baru mengemuka pada persidangan Februari 2013 lalu. Sidang tanggal 20 Februari 2013 tersebut beragendakan pembacaan keterangan saksi dari pemerintah. Hari itu, Prof. Dr. Sofian Effendi sebagai salah seorang anggota Dewan Pendidikan Tinggi yang ditugasi menyusun draf RUU Pendidikan Tinggi memaparkan keterangannya sebagai saksi dari pihak pemerintah. Dalam keterangannya, beliau menyebutkan bahwa pendidikan tinggi Indonesia harus mengembangkan kurikulum yang selaras dengan kebutuhan pembangunan nasional, dalam hal ini "kesalahan" pada kurikulum yang lebih berat ke akademik perlu dikoreksi. Kesalahan yang dimaksud adalah mismatch antara supply lulusan perguruan tinggi akademik yang mencapai 85% dari seluruh lulusan perguruan tinggi, dan hanya 15% lulusan perguruan tinggi teknik atau vokasi. Padahal, menurutnya, kebutuhan akan lulusan perguruan tinggi akademik hanya sebesar 25% sementara 75% lainnya adalah lulusan perguruan tinggi teknik atau vokasi. Perguruan tinggi Indonesia perlu mengubah struktur pendidikan dan kurikulumnya untuk menghasilkan tenaga-tenaga kerja yang diperlukan oleh industri. Menurutnya, akibat mismatch yang terjadi, saat ini kebutuhan akan tenaga kerja teknisi di Indonesia diisi oleh tenaga kerja asing. Masih menurut keterangan beliau, pendidikan sebagai public good, sebagai layanan yang dapat dinikmati seluruh warga Indonesia dan pemerintah memiliki tanggung jawab dalam membiayainya, hanya terbatas pada wajib belajar 9 tahun. Di luar wajib belajar tersebut, pendidikan akan bersifat private good, menuntut bayaran untuk siapapun yang ingin menikmatinya. Mencerdaskan kehidupan bangsa, adalah salah satu tujuan negara Indonesia. Pendidikan sudah pasti menjadi jalan terkrusial, jika bukan satu-satunya jalan, untuk mencapai tujuan tersebut. Mencerdaskan kehidupan bangsa, berarti menjadi bangsa unggul dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk mencapainya diperlukan suatu strategi yang ditempuh dalam jangka panjang, tidak cukup hanya melalui program-program pragmatis untuk menjawab tantangan saat ini. Paradigma pemerintah yang tercermin pada keterangan pembelaan UU Pendidikan Tinggi diatas menunjukkan bahwa baginya, pendidikan Indonesia bertujuan memenuhi permintaan industri. Artinya, sistem pendidikan bagi pemerintah adalah mekanisme mencetak tenaga kerja yang dibutuhkan industri, untuk memenuhi permintaan tenaga kerja. Pada akhirnya, menjadi cerdas hanyalah sebatas untuk mendapatkan penghidupan, memenuhi kebutuhan akan kesejahteraan. Pragmatisme ekstrem ditunjukkan oleh ketakutan pemerintah sekarang akan banyaknya pengangguran dan tenaga kerja asing di Indonesia daripada ketakutan akan tertinggalnya ilmu pengetahuan dan teknologi, atau lebih tepatnya kecerdasan bangsa Indonesia. Terjadi kesalahan interpretasi akan tujuan negara Indonesia. Mencerdaskan kehidupan bangsa diartikan sebagai penopang memajukan kesejahteraan umum. Padahal, keduanya merupakan misi negara Indonesia, antara satu dan yang lain sama-sama tujuan tertinggi penyelenggaraan negara Indonesia. Menjadi cerdas bukan hanya soal memenuhi kebutuhan akan kesejahteraan, tetapi juga menjadi unggul, menjadi mandiri dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam keterangan diatas, bahkan secara implisit pemerintah merasa bahwa aplikasi pencerdasan kehidupan bangsa oleh pemerintah adalah sebatas wajib belajar 9 tahun, selebihnya adalah private good, anda bisa menjadi lebih cerdas dengan membayar harga tertentu yang bukan merupakan tanggung jawab penuh pemerintah. Pertanyaannya, apakah wajib belajar 9 tahun sudah cukup untuk menjadikan bangsa Indonesia bangsa yang cerdas, yang unggul dalam ilmu pengetahuan dan teknologi? Jika pendidikan Indonesia terus diarahkan sebatas untuk pemenuhan permintaan tenaga kerja industri, ditambah dengan semakin meningkatnya jumlah perusahaan asing yang masuk ke Indonesia, bukankah bangsa Indonesia akan tetap menjadi "bangsa buruh di antara bangsa-bangsa", meski 80 tahun lebih sudah berlalu sejak Bung Karno membacakan pledoi Indonesia Menggugat-nya di muka pengadilan Landraad Bandung, 1930? *** sumber: Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi kopertis12.or.id berkas keterangan saksi Scribd: Indonesia Menggugat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline