Lihat ke Halaman Asli

Menanti Ulama Revolusioner

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Namanya Ayatullah Ruhollah Khomeini atau lebih dikenal dengan julukan Imam Khomeini. Seorang ulama besar yang berjiwa revolusioner dan merakyat. Gagasan-gasannya merambah dunia. Dan membangkitkan kesadaran kita untuk kembali kepada ajaran Islam yang orisinil, cinta kasih dan bermartabat. Selama 60 tahun ia mengabdikan diri berjuang membebaskan Iran dari cengkraman imprialisme asing. Ia bukan hanya pandai dalam gerakan politik, namun juga pribadi yang penyayang dan takwa. Seruan-seruannya menjadi motivasi dan pencerahan. Khomeini dengan lantang menyerukan perlawan kepada rezim diktator dan korup: "Wahai orang-orang tertindas, bangkitlah melawan para penindas, dan rampaslah hak-hak kalian dari mereka..." Pesan itu menusuk jantung kesadaran rakyat dan membangkitkan gejolak revolusi. Hasilnya, Iran lahir sebagai bangsa mandiri dan menjadi tangguh di pentas dunia saat ini. Berbeda dengan bangsa-bangsa yang manut dan pasrah pada perubahan zaman. Sebutlah, Indonesia...! Perjumpaan saya dengan kepribadian dan pemikiran Khomeini  berawal di tahun 1984. Waktu itu ibu saya pulang dari Jakarta dengan membawa sejumlah foto dan beberapa buku tentang perjuangan Khomeini. Fotonya dipajang di ruang makan, saya suka manatapnya. Sorotan matanya tajam dan menggetarkan jiwa. Di bagian bawah gambarnya, tertulis: "La syarqiyah wala gharbiyah illa islamiyah...", tidak Sunni maupun Syi'ah kecuali Islam, tidak Timur dan tidak Barat. Pesan pendek itu merubah selera saya untuk membaca buku-buku yang mempertengkarkan perbedaan mazhab dan agama. Semakin jauh menyelami kehidupan Khomeini, membuka kesadaran saya atas realitas sosial-keagamaan di negeri ini. Saya mengamati begitu banyak tokoh-tokoh agama kita terjebak dalam perlombaan berorganisasi, yang ujungnya menghamba kepada penguasa. Menjadi alat kepentingan politik, terjebak dalam pertentangan antar agama, serta mengurusi hal ihwal yang tidak ada kaitannya dengan kesejahteraan dan keadilan rakyat. Fokus perhatian saya sering kali tertuju kepada Muhammadiyah, NU, MUI dan beberapa organisasi Islam lainnya. Organisasi-organiasai ini lebih banyak hanyut dalam simbol-simbol agama. Menghabiskan dana miliaran rupiah hanya untuk sekedar muktamar, Istiqosah, seminar dan kegiatan-kegiatan yang sebatas formalistik dan terkesan euforia. Anehnya, pemerintah dibuat sibuk menyiapkan sebuah Departemen khusus (Depag) sebagai pusat rekrutmen tokoh-tokah agama dan sarana penyaluran bantuan kepada organisasi-organisasi tersebut. Hasilnya, bermunculan berbagi proposal permohonan bantuan, rebutan proyek haji/umrah dan kasak-kusuk dalam percaloan jabatan di struktur kekuasaan. Perilaku dan mentalitas inilah yang menyebabkan tokoh-tokoh agama kehilangan kecerdasan, kemandirian, jauh dari rakyat dan hanya sibuk mengurusi kepentingan pribadi dan kelompoknya. Lebih menyedihkan, NU dan Muhammadiyah sebagai organisasi Islam terbesar di negeri ini, dalam kurun waktu puluhan tahun terjebak dalam pertentangan yang membingungkan ummat. Mulai dari soal rukyah-hilal, wudhu, qunut dan masalah-masalah fiqih yang tak berkesudahan. Di tengah-tengah kesemrawutan kedua organisasi itu, muncul kelompok-kelompok radikal yang mencoreng citra Islam. Fenomena ini tidak lepas dari akibat bobroknya perilaku NU dan Muhammadiyah itu sendiri. Tepatnya, gagal mendorong perbaikan sistem negara dan tata nilai dalam kehidupan bangsa ke arah yang lebih adil dan bermartabat. Berbeda dengan Khomeini yang berhasil melahirkan perubahan dan menempatkan posisi ulama sebagai bagian dari tanggungjawab untuk mengayomi dan mencerdaskan ummat. Salut...!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline