Bung Karno pernah marah kepada sejumlah tokoh Islam, dengan mengatakan: Islam Sontoloyo! Ungkapan tersebut sejak masih duduk di bangku SD kelas enam, saya sudah mendengarnya. Dan saat itu saya berfikir, kata "sontoloyo" artinya budak. Maklum, saya bukan orang Jawa. Singkatnya, persepsi saya, "tokoh muslim bermental budak", sehingga membuat Bung Karno kesal. Kebetulan saya murid di sekolah Katolik, ungkapan tersebut membuat saya jadi enggan dan malu. Apalagi menanyakan istilah Jawa itu ke para guru kami yang sebagian besar beragama katolik. Beberapa tahun kemudian, saya baru paham ternyata, kata "sontoloyo" itu adalah cacian paling kasar dalam bahasa Jawa. Sebuah ungkapan untuk menuding sikap munafik kepada tokoh-tokoh muslim kala itu. Luar biasa, seorang intelektual dan sekaligus pendiri negara, melontarkan pernyataan yang begitu keras. Mungkin kalau, saya atau anda yang mengatakannya, bisa ditanggapi dengan tudingan: Tidak intelek, tidak sopan, anti Islam dan bahkan bisa digebuki sampai mati. Tapi lontaran Bung Karno, biasa saja toh! Soekarno telah tiada, namun sikap dan gagasannya meninggalkan jejak kerinduan dan kecintaan kita kepadanya. Kini zaman berganti, dan telah melahirkan para pemimpin yang kontras dengan sikap Soekarno yang merakyat dan nasionalis. Di era hidup tanpa Soekarno, kita seolah dipaksa menjadi bangsa yang hina dan rapuh. Laksana, yatim secara politik, dan piatu dalam kebangsaan. Hubungan kasih sayang antar pemimpin dengan rakyat, berubah dalam jarak yang saling bermusuhan. Penguasa makin kaya dan korup, sementara rakyat tergilas miskin dan tak manusiawi. Sungguh menyedihkan...! Pesan Soekarno Ada di Pulau Buru. [caption id="attachment_93000" align="alignright" width="300" caption="pemandangan teluk Kayeli, Pulau Buru, dari rumah saya - google"][/caption] Lebih memprihatinkan, sebagian besar ajaran Soekarno diberangus dan tidak sempat masuk dalam rak-rak buku sekolah dan kampus. Bahkan, selama 32 tahun rezim otoriter Soeharto berkuasa, pemikiran, idealisme dan gagasan revolusioner Bung Karno serta tokoh sejenisnya, menjadi suatu yang tabu bagi rakyat. Jangankan di Jawa, di Pulau Buru, tempat saya tumbuh besar, dan menjadi daerah para Tapol PKI dibuang, ajaran Soekarno sangat sensitif diperbincangkan bebas. Mungkin juga di tempat lain demikian. Namun, dari beberapa orang pengikut yang pernah dekat dengan Soekarno dan terbuang di Pulau Buru, sering kali mengisahkan karakter dan pemikirannya pada saya dan teman-teman. Itupun dilakukan secara diam-diam, takut ketahuan tentara. Sailan, entah di mana orang ini berada? Dia adalah salah satu aktivis pendukung Bung Karno yang di tangkap dan buang ke Pulau Buru. Semasa hidupnya adalah menjadi pelayan atau kasarnya diperlakukan bagai budak yang bekerja di asrama perwira tentara (kodim). Rumah kami yang kebetulan berada di kompleks tentara, Namlea, membuat kami bisa bebas berinteraksi dengan para tahanan politik. Di mana mereka yang menjadi pembantu di asrama perwira ABRI (TNI) , sering mampir ke rumah kami untuk makan dan sekedar istirahat. Dari mas Sailan, Parno, Kisman dan beberapa nama lainya, saya mendapatkan banyak informasi tentang perjuangan revolusi dan kisah Bung Karno. Apalagi saat itu tidak ada buku atau koran yang isinya tentang kiprah Soekarno diakhir kekuasaannya. Bacaan-bacaan itu tidak mungkin masuk ke Pulau Buru, daerah operasi militer yang super ketat. Sesekali, kami mendatangi rumah keluarga Hukul, tempat di mana Pramoedya Ananta Toer menjalani tahanan kota, yang kemudian dipenghujung tahun 1979, ia dipulangkan ke Jawa. Dari jendela yang menghadap ke pantai, tampak lelaki itu merokok dan lebih banyak memilih diam. Itulah kesan terakhir saya melihatnya. Sampai saat ini, ia masih menjadi idola dan sosok yang melegenda di masyarakat kami di Pulau Buru. Raut mukanya memancarkan simpatik, ada rasa iba yang menggetarkan hati kami. Kata ibuku, mas Pram dan teman-temannya adalah tahanan politik yang tidak bersalah. Mereka menjadi korban kekejaman rezim Soeharto. Pesan itu, membuat saya tergugah untuk mendekati para Tapol yang acap kali disiksa di markas tentara. "Kalau lihat mereka (tapol) sudah dikembalikan ke barak, (gudang dekat sekolah saya), antarkan air buat mereka," ujar ibuku. (bersambung...) Salam, Faizal Assegaf Jkt, 14 Maret 2010.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H