Lihat ke Halaman Asli

Masa Depan Para Ilmuwan

Diperbarui: 4 Mei 2016   07:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(Catatan dari hari pendidikan nasional 2 mei 2016)

           "Menurut organisasi kerjasama ekonomi dan pengembangan (OECD), sekarang Indonesia masuk peringkat 10 besar rangking negara dengan jumlah lulusan sarjana terbanyak disetiap tahunnya. Bahkan ditahun 2020 diprediksi Indonesia masuk peringkat 5 besar, dibawah Tiongkok, USA, India, dan Jepang."   

Hari pendidikan nasional tahun ini 2 mei 2016, ada baiknya kita menginstropeksi hasil-hasil dari sistem pendidikan kita di Indonesia. Laporan dari berbagai sumber data bahwa jumlah alumni lulusan dari sekolah-sekolah dan kampus-kampus dari tahun ke tahun baik yang negeri maupun swasta terus bertambah. Sebagai contoh, secara nasional jumlah lulusan SMA atau sederajat setiap tahunnya mencapai angka sekitar 600 ribuan orang. Dimana sekitar 60% diantaranya bersiap melanjutkan kejenjang perkuliahan, lewat pendidikan Strata-1 (S1) atau Diploma-3 (D3). Sisanya tidak melanjutkan karena tidak mempunyai daya terutama berkaitan dengan urusan materi.

Dari jenjang Strata-1 (S1) dilaporkan bahwa setiap tahunnya secara nasional meluluskan alumni yang mencapai angka 400 ribuan orang dan parahnya 60% hingga 70% diantaranya bersiap menjadi pengangguran, dikarenakan kurangnya lapangan kerja dan skill lulusan yang tidak memadai.  Jika hal ini terus dibiarkan maka gelar di ijazah-ijazah tinggalah gelar yang menghiasi lemari dan kenangan indah masa lalu tanpa aplikasi ilmu yang telah diperoleh dari bangku-bangku dan jenjang pendidikan yang ada. Jadilah Indonesia sebagai bangsa yang menumpuk para ilmuwan dan ujung-ujungnya akan banyak ilmuwan yang tidak bekerja sesuai disiplin ilmunya, contohnya sarjana ekonomi bekerja di perusahaan obat, sarjana pertanian di perusahaan komunikasi dan kasus lainnya. Keadaan yang menuntut seperti itu agar mereka harus bekerja untuk dapat terus bertahan hidup, apapun itu meski tidak sesuai disiplin ilmu yang mereka lulusi di jenjang pendidikan.                               

Seharusnya semakin banyak lulusan sarjana, semakin banyak ilmuwan, maka akan semakin maju negara tersebut karena telah diisi oleh para pemikir-pemikir hebat yang telah diuji dan dibuktikan dengan ijazah. Seperti negara Tiongkok, korea, dan Jepang adalah contoh negara-negara Asia dengan jumlah lulusan sarjana terbanyak dan memang berbanding lurus dengan prestasi mereka di kancah dunia, dipanggung international.

Sumber Permasalahan                                                                                                                    

1. Lemahnya sistem ekonomi, sektor ekonomi sangat erat kaitannya dengan sistem pendidikan suatu negara. Menurut data negara-negara maju, untuk membentuk sistem pendidikan yang ideal butuh pertumbuhan ekonomi yang sehat dengan pertumbuhan minimal sekitar 8 – 10% pertahun.  Data terakhir pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya sekitar 4.7%, dimana angka ini masih jauh dari harapan dikarenakan sistem ekonomi Indonesia dikuasai kapitalisme para pemilik modal asing. Hal ini menjadikan sistem pendidikan Indonesia berorientasi ke arah "materi" bukan lagi kualitas semata. Ijazah begitu mudah didapatkan dengan adanya "uang" sebagai pelicin, ijin mendirikan suatu Institusi pendidikan begitu mudah diperoleh asalkan ada modal yang cukup. Kualitas menjadi nomer sekian dari tujuan pendidikan karena ekonomi kita dikuasai kapitalisme.                                             

2. Skill lulusan yang tidak memadai, buah dari ekonomi kapitalisme adalah kualitas sumber daya manusia yang sangat rendah karena budaya "mudahnya" lulus asal ada uang. Akibatnya penguasaan teori dan skill tidak terasah dengan baik, bahkan jika memakai standar international maka sarjana-sarjana lulusan Indonesia butuh bimbingan sekolah lagi dengan waktu khusus untuk mereview kembali ilmunya. Ini menjadikan kita sulit bersaing di era MEA sekarang, bahkan bisa menjadi bom waktu bagi Indonesia jika tidak memperbaiki sistem pendidikannya. Para ilmuwan kita bisa semakin tertinggal jauh dari negeri tetangga.

3. Kecerdasan Intelektual tidak diimbangi dengan kecerdasan spiritual, setiap ilmu adalah pemberian Tuhan kepada hambanya oleh karena itu semakin berilmu seseorang harusnya semakin mengenal siapa Tuhannya, bukan malah sebaliknya semakin sombong, semakin jauh dari Tuhannya. Sistem pendidikan Indonesia lambat laun menuju kearah sana, hal ini tercermin dengan sedikitnya jumlah jam atau kelas yang diberikan kepada ilmu atau mata kuliah agama dibanding ilmu pengetahuan sosial dan exact. Semakin tinggi jenjang pendidikan malah semakin menghilang ilmu atau kuliah agama didalamnya. Agama seakan dijadikan urusan individu masing-masing untuk mencari Tuhannya. Jadilah kebanyakan para ilmuwan yang tumpul akan nilai-nilai agama, cerdas tetapi diktator, pandai tetapi menganggap semua karena "dirinya semata" ciptaannya, tak ada campur tangan Tuhan didalamnya. Padahal para tokoh - tokoh terdahulu yang begitu terkenal dan disiplin ilmunya masih kita gunakan sampai sekarang telah mencontohkan bahwa mengejar ilmu pengetahuan tidak bisa dipisahkan dengan ilmu agama. Langkah awal sebelum belajar ilmu pengetahuan adalah menamatkan ilmu agama. Seperti pada diri ilmuwan Ibnu Sina, Al-Jabbar, Al-Farabi, Ibnu Rusyd, Al-Khawarizmi, Ibnu Batutah, dan lain-lain.

Masa depan para ilmuwan                                                                                                              

Jika hal ini dibiarkan terus menerus maka masa depan suram berada didepan para ilmuwan Indonesia sebagai hasil dari sistem pendidikan masa lalu dan sekarang. Beberapa langkah perlu dilakukan antara lain ;                      

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline