Semoga Wayan Mirna Salihin tenang di alam sana.
Begitulah doa yang disampaikan berkali-kali dalam acara Indonesia Lawyer Club tadi malam. Selain doa dan bela sungkawa, acara televisi One itu seperti biasa terjadi perdebatan yang alot ala para pengacara, pihak kepolisian, pengamat yang bertitel kriminolog, pembaca gesture / hipnoterapi, dan ahli-ahli lainnya.
Saya tidak punya kapasitas untuk menjadi investigatif atau detektif yang bisa membongkar atau merekonstruksikan mengapa Mirna dibunuh dan siapa yang tega membunuhnya.
Saya hanya perempuan biasa dan ibu dari anak gadis yang sedang merajut mimpi untuk bersekolah ke luar negeri. Konteks Mirna dan Jessica yang menjalin pertemanan sebagai mahasiswa Indonesia yang merantau ke luar negeri membuat saya semalam penuh konsentrasi menyimak acara tersebut.
Sejatinya tentu kita semua berpikir, jika kejadian bisa menimpa Wayan Mirna, maka mungkin bisa menimpa siapa saja. Jadi semestinya kita belajar dari kasus ini.
Terlepas dari siapa salah dan benar, sebagai mana sudah banyak Kompasianer yang membahas dan menulis kasus ini, saya tertarik dengan cerita (kesaksian) dari Ayah korban, Ayah Mirna, pak Salihin.
Di televisi kemarin, pembawa acara memberi keleluasaan lelaki berperawakan putih kurus yang ternyata boss perusahaan dengan karyawan 6000 orang itu mampu berpanjang lebar menyampaikan curahan hatinya.
Ada satu kalimat dari Pak Salihin yang menghentak, ketika ia merekonstruksi kedatangan anaknya (bersama teman bernama Hani) di Cafe Olivier itu. Bahwa Mirna ternyata merasa terpaksa memenuhi undangan Jessica, bahwa Mirna sampai menunggu Hani sekitar 48 menit untuk memberanikan diri memenuhi undangan minum kopi Jessica. Lalu si bodoh ini, tanpa berprasangka, datang ke Cafe itu, begitu ucap Pak Salihin.
Jessica pernah minta cium "Si Bodoh" Mirna
Tentu saja ucapan seorang ayah kepada anaknya, yang sudah tiada, tidak bisa dikategorikan berarti penghinaan, bahwa Mirna adalah orang bodoh. Bagaimana pula secara intelektual Mirna yang lulusan Desain dari Universitas di Australia, bisa dikategorikan "bodoh".
Karena itulah saya mempersepsikan ungkapan sang Ayah itu adalah curahan hati yang hancur, bahwa sayang sekali anaknya tercinta dengan mudahnya, dengan lugunya, dengan bodohnya, masuk ke perangkap Jessica, tanpa mencoba berpikir sedikit lebih kritis.