To the point, saya bersyukur dengan kehadiran BPJS kesehatan. Terima kasih.
Setahun ini saya dan keluarga telah berkali-kali memanfaatkan BPJS kesehatan di puskesmas untuk pemeriksaan ringan di Balai Pengobatan Umum, batuk, pilek, cek tekanan darah, dan terutama sangat saya andalkan untuk pemeriksaan gigi. Semua juga tahu, di berbagai tempat, apalagi kota besar seperti Jakarta tanpa BPJS, biaya periksa gigi dan pengobatannya bikin gigi (bukan cuma kulit saja) merinding.
Sekalipun tetangga sebelah kanan dan kiri rumah saya adalah dokter gigi praktek, dan memberikan harga miring jika kami berobat, tetapi kami memilih berobat ke puskesmas dengan BPJS. Bagaimana tidak, dokter gigi yang memeriksa di puskesmas kami semuanya dokter senior dan lumayan ramah. Walaupun untuk itu, pada pagi harinya kami harus berjibaku memperebutkan 30 kursi periksa dokter gigi. Jadi itu tantangan para pemegang BPJS, ngantri dan bangun pagi (pukul 5 paling lambat) meski jam periksa mulai pukul 9 sampai selesai, bahkan kadang baru dapat giliran setelah para dokter selesai makan siang.
Demikian dengan obat. Ternyata jatah pasien BPJS cuma obat 3 hari. Kalau masih sakit kembali lagi, mengikuti prosedur seharian lagi, untuk mendapat obat untuk 3 hari berikutnya. Untuk pasien yang perlu perawatan gigi, ternyata jatah obat 3 hari biasanya tidak cukup, dan dokter meminta kita untuk membeli obat tambahan dari luar.
Rujukan BPJS kesehatan ke poliklinik dan RS
Sekarang saya ingin curhat tentang BPJS kesehatan di poliklinik. Entah mengapa, pelayanan bagi para pasien BPJS di poliklinik, sebutlah THT, Jiwa, Mata, dll masih jelek. Beberapa kali saya bertemu dengan pasien yang dirujuk oleh dokter umum di puskesmas untuk ke poliklinik yang ada di puskesmas juga maupun di rumah sakit swasta, semuanya mengeluh tidak puas.
Contohnya, seorang pasien dokter umum dirujuk untuk diperiksa di poliklinik jiwa, yang sama-sama ada di Puskesmas Kecamatan Kelapa Gading. Ternyata dokter di poliklinik jiwa itu tidak ada pada hari itu, dan juga di hari-hari sebelumnya. Ruang poliklinik sudah lama terbengkalai. Ketika ditanyakan ke petugas puskesmas, mereka Cuma minta maaf karena dokter jiwa memang jarang hadir (atau sudah lama tidak pernah hadir).
Ketika minta rujukan ke rumah sakit swasta, ternyata pasien tadi, ditolak oleh dokter BPU puskesmas. Selama masih ada poliklinik di puskesmas, pasien tidak dirujuk ke rumah sakit umum daerah atau ke rumah sakit swasta. Apa iya begitu? Tidak ada desk information di rumah sakit atau Puskesmas yang bisa menjelaskan.
Sedangkan saya punya pengalaman, dirujuk dari Puskesmas ke Rumah Sakit Swasta untuk dokter THT. Berhubung amandel sudah demikian bengkak, dan kalau tidur susah bernafas sampai ngorok, maka dokter puskesmas menyarankan agar segera dioperasi.
Begitu dapat surat rujukan dari Puskesmas, sekitar jam makan siang, langsung ke rumah sakit yang ada Dokter Spesialis THT. Sampai di sana rupanya ada lagi prosedur yang harus dijalankan pemegang BPJS.
Semua yang pakai BPJS harus daftar pagi pukul 5 untuk mendapat nomor antrian. Dengan modal nomor antrian (yang katanya Cuma tersedia 30 kursi) menunggu loket pendaftaran rumah sakit dibuka pukul 8 pagi. Setelah itu baru mendapat nomor untuk periksa dokter. Dan dokternya baru praktek pukul 17. Bayangkan satu harian habis untuk mengurus prosedur BPJS. “Kalau pasiennya tidak kuat, bisa mati di tempat sebelum diperiksa dokter.”