Lihat ke Halaman Asli

Nunung Anggraeni

Seorang ibu rumah tangga biasa yang suka baca dan nulis

Belajar dari Kebangkrutan Bapak dan Investasi Emas untuk Pendidikan

Diperbarui: 2 Agustus 2019   11:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Aku dilahirkan dari nenek dan bapak yang berwiraswasta. Berdagang lebih tepatnya. Nenekku adalah pedagang kelontong yang sukses di desaku pada jamannya. Jaman dulu tahun 80 an belum ada minimarket masuk desa. 

Jadi pedagang kelontong di desa adalah satu-satunya pedagang kelontong tanpa saingan saat itu. Selain berjualan kelontong nenekku juga punya usaha es mambo yang dititipkan di sekolah-sekolah. 

Saat aku kecil nenek sudah mempunyai 3 buah kulkas untuk berjualan es. Nenek juga punya karyawan khusus untuk membungkus es dan seorang kurir yang bertugas menitipkan es dalam termos-termos ke sekolah - sekolah di desaku dan beberapa desa tetangga.

Bapakku mewarisi jiwa bisnis nenek. Memutuskan berjualan dan membuka toko cindera mata di sebuah tempat wisata adalah salah satu usaha bapakku saat masih muda. Usahanya terus berkembang sampai bapak menikah dan aku lahir. 

Saat aku kecil aku ingat ibuku selalu menabung uang di celengan 'bumbung'.  Celengan "bumbung" ini adalah celengan yang terbuat dari bambu setinggi satu meter kalau tidak salah. 

Setiap ada keuntungan lebih, uang keuntungan hari itu dimasukkan ke celengan"bumbung". Uang di celengan "bumbung" dibuka dan dibuat kulakan lagi oleh bapak. Begitu seterusnya sampai usaha bapak berkembang pesat.

Saat usaha bapak berkembang pesat uang di celengan "bumbung" dibiarkan dan sengaja ditabung dan tidak untuk kulakan. Sengaja ditabung karena bapak berencana membangun rumah di kampung. 

Ada beberapa" bumbung" celengan saat itu. Saat tiba waktu membangun rumah semua celengan dibuka dan kami mulai membangun rumah pertama kami. Bapak membangun rumah yang cukup besar di lahan warisan seluas 500 meter. Sayangnya bapak tidak melakukan pertimbangan yang matang saat membangun rumah. Saat itu rumah kami menjadi satu-satunya rumah termegah dan termewah di desaku dan sekitarnya. 

Tahun 1983 saat masih banyak rumah berdinding bambu di desa dan rumah tembok berlantai semen biasa, bapak sudah memakai marmer untuk lantai rumah kami. Sebuah hal yang luar biasa buat kami di desa pada waktu itu.

Singkat cerita rumah pun jadi dan menjadi rumah termegah saat itu. Tapi semua hanya tampak luarnya karena untuk membangun rumah itu bapakku bangkrut. Uang tabungan puluhan juta pada saat itu habis dan rumah belum selesai. 

Akibatnya bapak tidak bisa lagi kulakan karena semua hasil penjualan di tokonya digunakan untuk membangun rumah. Begitu seterusnya sampai-sampai semua barang di toko habis, bapak tidak bisa kulakan karena tidak ada lagi modal dan hanya berdiam diri di rumah. Aku masih kelas 3 SD saat bapakku bangkrut. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline