Pemikiran kritis merupakan hal yang sepatutnya dimiliki oleh setiap akademisi. Daya nalar yang baik, pemikiran konseptual untuk menghasilkan gagasan-gagasan baru demi perubahan ke arah yang lebih baik bagi masyarakat sudah semestinya menjadi sebuah tanggung jawab bagi seorang insan terpelajar.
Bila kita tengok sejarah, mahasiswa angkatan 66 dan 98 sepertinya layak disebut sebagai generasi emas pergerakan mahasiswa Indonesia untuk mencapai sebuah perubahan besar bagi negara.
Peristiwa 98 tentunya masih melekat dalam ingatan. Saat itu, mahasiswa dengan segenap tekad dan perjuangannya mampu menduduki gedung DPR Senayan. Sekaligus, meruntuhkan pemerintahan Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun lamanya.
Namun, tak banyak yang tahu bahwa mahasiswa angkatan 66 juga memiliki sejarah dan pergerakan yang bisa dikatakan tak kalah gemilang dari mahasiswa angkatan 98.
Bila mahasiswa angkatan 98 memiliki sosok Fadli Dzon, Fahri Hamzah, Adian Napitupulu dll. sebagai sosok yang menonjol bagi pergerakan mahasiswa di masa itu, maka angkatan 66 memiliki salah satu nama yang bisa dibilang pentolan. Dia adalah: Soe Hok Gie.
Soe Hok Gie, seorang aktivis keturunan Tionghoa-Indonesia yang lahir pada 17 Desember 1942. Ia aktif sebagai mahasiswa dan dosen FSUI (Fakultas Sastra Universitas Indonesia) Jurusan Sejarah tahun 1962-1969. Soe Hok Gie memiliki hobi menulis dan naik gunung. Ia juga merupakan salah satu pendiri MAPALA UI kala itu.
Gie adalah aktivis yang sangat gencar dalam mengkritisi pemerintahan Soekarno. Ia adalah seorang pembangkang aktif bagi pemerintahan Sang Proklamator. Lewat kepiawaian menulisnya, pemikiran-pemikiran kritis Gie terhadap penguasa senantiasa menghiasi berbagai surat kabar di masa itu.
Gie aktif dalam aksi demonstrasi bersama KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) selama 60 hari lamanya pasca pemberontakan PKI. Gerakan mahasiswa itu pun berhasil memaksa PKI dibubarkan. Tak lama setelah itu, Presiden Soekarno pun harus turun dari jabatannya. Tepatnya pada tahun 1967.
Salah satu ciri khas Gie adalah kemampuannya membuat satire dalam mengkritisi sesuatu yang dianggapnya tidak benar. Menurut KBBI, satire sendiri berarti gaya bahasa yang dipakai dalam kesusastraan untuk menyatakan sindiran terhadap suatu keadaan atau seseorang. Satire mampu 'menyentil' seseorang atau suatu keadaan secara halus dan cenderung tidak melukai.
Mengutip dari buku Intisari Bahasa dan Sastra Indonesia, satire adalah gaya bahasa yang berbentuk penolakan dan mengandung kritik dengan maksud agar sesuatu yang salah dicari solusi atau kebenarannya.
Banyak orang keliru yang menganggap satire sama dengan sarkasme. Keduanya merupakan hal yang berbeda. Sarkasme sendiri merupakan penggunaan kata-kata yang keras dan kasar untuk menyindir atau mengritik.