Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) tahun pelajaran 2021-2022 sudah berlangsung. Sayangnya, mimpi para pelaku pendidikan untuk kembali berinteraksi di dalam kelas masih belum terealisasi. Hal ini lebih disebabkan pandemi covid 19 yang belum berakhir. Pemerintah, para guru, orangtua, dan juga siswa masih dipaksa untuk tetap bersabar, hingga semuanya dianggap normal. Kesal, sudah pasti kesal. Jengkel, dipastikan pula jengkel. Namun yang harus disadari, perasaan tersebut bukan hanya dirasakan oleh satu atau dua pihak saja, melainkan oleh semua kalangan.
Sudah tidak diragukan bahwa kehadiran guru merupakan instrumen vital dalam rangka mencerdaskan anak bangsa. Berkat jasa guru, lahirlah para pemimpin saat ini. Bagaimana jadinya kalau dahulu para guru melakukan aksi mogok mengajar dikarenakan tidak rasionalnya kesejahteraan yang didapat, mungkin sekarang akan susah ditemukan orang yang berpendidikan. Tetapi semua itu tidak dilakukan. Dengan segala keterbatasan, para guru tetap berjuang mencerdaskan anak bangsa, karena motivasi utamanya bukanlah materi melainkan sisi lain yang dapat memberikannya kepuasan tanpa bisa diukur dengan materi. Demikian juga dengan kondisi sekarang, dikala bangsa sedang dilanda kegelisahan karena proses pembelajaran belum sesuai harapan, maka lagi-lagi peran guru dituntut untuk lebih kreatif dalam menyampaikan bahan ajar, sehingga mampu menjadi solusi masalah pendidikan.
Belum jelas kapan akan dimulainya KBM secara langsung, menuntut beberapa sekolah mulai simulasi untuk melakukan pembelajaran tatap muka terbatas. Beberapa lagi, ada yang masih tetap melakukan PJJ online, dan ada juga yang sudah memulai tatap muka dengan prokes yang sangat ketat. Perbedaan tersebut dipastikan memiliki konsekuensi masing-masing. Namun yang terpenting, para pendidik harus berupaya untuk terus meningkatkan kompetensinya. Meraka harus siap membimbing siswa baik dengan cara pembelajaran terbatas, PJJ, dan juga penggunaan prokes yang sangat ketat.
Untuk tetap menjaga kualitas pendidikan, termasuk kemungkinan-kemungkinan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan layaknya kasus seperti sekarang ini, sebenarnya pemerintah sudah mengeluarkan beberapa ketentuan. Ketentuan tersebut misalnya tercantum dalam UU No. 4 tahun 2005 tentang guru dan dosen. Setiap guru harus memiliki setidaknya 4 komponen dasar. Jika keempat komponen ini diperhatikan oleh para guru, maka permasalahan yang menimpa dapat teratasi. Komponen tersebut, pertama kompetensi profesional yang salah satu buktinya dengan ijazah (akta IV) atau sertifikat sebagai tenaga pendidik profesional. Selain itu, para pendidik dapat mengembangkan profesionalismenya dengan pelatihan-pelatihan.
Kompetensi kedua berupa kompetensi pedagogik dimana setiap guru harus menguasai didaktik metodik. Bagi seorang guru tidak cukup menguasai materi, yang terpenting saat ini justru kemampuan dalam mentransfer ilmu pengetahuan kepada siswa. Proses pembelajaran yang dilakukan seperti PJJ ini, menuntut para guru mampu untuk memilih pendekatan dan metode ajar yang dapat diterima oleh para siswa. Hal ini tidak mudah karena membutuhkan kompetensi tambahan. Para guru sudah dipastikan harus melek teknologi. Pun ia dituntut mampu untuk mengemas konten materi agar lebih mudah dipahami siswa. Dalam hal ini, ungkapan bahasa arab yang menyebutkan bahwa "l thariqatu ahammu minal maddah", cara menyampaikan itu lebih penting daripada materi, sangat tepat adanya.
Selanjutnya, dikarenakan Covid 19 ini terjadi pada abad 21, maka terdapat lagi tambahan tuntutan kepada para guru. Mereka harus terampil membuat siswa 1) berpikir kritis dan mampu menyelesaikan masalah (critical thinking and problem solving), 2) bekerjasama dan berkomunikasi dengan baik (collaboration and communication ), 3) berpikir kreatif dan mengembangkan imajinasi (creativity and imagination), 4) menjadi warga negara yang baik (citizenship), 5) memahami dan menggunakan informasi dari sosial media (digital literacy), dan 6) mengembangkan potensi siswa (student leadership and personal development).
Kompetensi ketiga ialah sosial. Selain menguasai ilmu pengetahuan dan mampu mengajarkannya, setiap guru harus mampu berinteraksi secara tepat, baik dilakukan dengan atasan, teman sejawat, siswa, orangtua dan juga masyarakat. Komunikasi di era pandemi memang berbeda. Kebanyakan dilakukan melalui media sosial yang terkadang muncul kesalahpahaman dalam mengartikan pesan. Guru yang hendak mengirim pesan baik, tapi karena tidak melihat mimik muka dan intonasi berbicara, maka salah dalam mengartikan. Oleh sebab itu, demi menjaga hubungan yang baik, para guru dituntut mampu menjalin hubungan sosial secara efektif dengan semua kalangan.
Keempat yaitu kompetensi kepribadian. Suka tidak suka, siap tidak siap, maka para guru harus memiliki kepribadian yang baik. Setiap perkataan, sikap, dan perbuatan harus benar-benar mencerminkan sebagai pendidik yang akan menjadi panutan. Di era pandemi seperti sekarang ini, kepribadian guru kadang ditunjukkan dengan kemampuan dalam mengelola dirinya. Tanggungjawab dalam mengajar, kejujuran, kedisiplinan, rasa ingin tahu dan lain-lain. Kepribadian, kadang muncul dari aktivitas dalam bersosial media. Status yang pada media sosialnya, ekspresi dirinya, cerita keseharian dll, itu dapat menyimpulkan. Dengan demikian, akan sangat bijak bagi para guru manakala mampu menunjukkan sikap positif terutama saat bermedia sosial, walau sikap yang ditunjukkan tidak semuanya benar.
Tingginya tuntutan dan harapan akan peran guru, itu sangatlah wajar. Kepada siapa lagi bangs aini menyandarkan harapan ketahanan kualitas pendidikan jika bukan kepada guru. Para guru yang langsung berinteraksi dengan siswa dan orangtua. Para guru lebih tahu karakteristik siswa dan orangtua. Para guru pula yang lebih tahu akan konten dan penyajian materi yang lebih tepat di masa pandemi. Semoga guru-guru tetap istiqamah dalam berbuat ihsan. Semoga pula pandemi ini segera berakhir agar semua kembali normal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H