Rasa pesimis mengawali dan menghantui kehidupan saya selama permulaan kegiatan KKN. Bagaimana tidak? pribadi saya yang tidak mudah bertemu dengan orang baru dengan bahasa dan budaya yang cukup berbeda dengan saya membuat saya takut untuk menjalin interaksi dengan teman KKN bahkan warga disana. Walaupun saya memiliki darah Minang, hal itu belum lah cukup untuk menjadi prasyarat dalam berbaur dan mengikuti rangkaian kegiatan di dalamnya yang pada akhirnya menuntut saya untuk dapat adaptif mengatasi segala perubahan yang ada. Inspirasi untuk program kerja pun juga tak kunjung datang menghampiri saya untuk dapat menciptakan kegiatan yang sekiranya cocok dengan jurusan saya yaitu psikologi. Menunggu dan menunggu, titik cerah itu pun saya dapatkan sehabis saya shalat maghrib bersama dengan teman-teman KKN dalam sebuah masjid di desa penuh kenangan bernama Sungai Antuan.
"Dari jurusan mana, diak?", pungkas salah satu pria paruh baya yang juga baru saja menunaikan ibadah shalat maghrib disana. Lalu saya pun menjawab, "Oh, saya dari jurusan psikologi, pak.". Tidak lama kemudian, bapak itu pun akhirnya tertarik dengan latar belakang pendidikan saya yang pada akhirnya membuat pembicaraan kami semakin intens. Saya cukup kaget, bahwa ternyata bapak tersebut cukup sadar akan permasalahan gangguan psikologis terutama pada anak. Bahkan, kata-kata yang mungkin terdengar asing bagi orang awam pun telah diketahui oleh sang bapak tersebut, sebut saja gangguan autisme, ADHD, dan masih banyak lagi. Perbincangan pun menjadi lebih intens bahkan kami sempat berbicara mengenai terapi. Maklum, saya memang pernah magang di salah satu tempat pendidikan remaja dengan autisme dan hingga saat ini menjadi relawan kakak pendamping Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) sehingga ada hal-hal yang bisa saya bagikan melalui cerita pengalaman saya. Pembicaraan itu pun kemudian terhenti mengingat saya dan teman-teman laki-laki satu KKN yang lain ingin melanjutkan berbagai aktivitas mengingat harus ada yang disiapkan untuk acara esok pagi di Kantor Wali Nagari.
Mentari pun mulai menyinari Sungai Antuan, tanda bahwa kami harus bergegas ke Kantor Wali Nagari. Tibalah kemudian Bapak Wali Nagari, Pak Rafles, dengan senyum nan ramah menyambut kami untuk melakukan pengabdian. Doa pun akhirnya terpanjatkan kepada-Nya dan tibalah kami kepada penghujung acara. Saat itu kami memang sedang berpencar-pencar, ada yang beres-beres kursi, menyapu, membuang sampah, dan ada sebagian yang ke lantai bawah. Tibalah salah satu teman KKN saya bernama Arjun datang menghampiri saya dari lantai bawah tersebut dan mengatakan bahwa ada salah satu warga yang meminta kami dari peserta KKN untuk mengadakan sosialisasi terkait dengan ABK kepada ibu-ibu PKK. Saya disatu sisi cukup tertarik untuk membawakan topik ini, akan tetapi disisi lainnya timbul ketakutan-ketakutan irasional saya yang enggan untuk mengambil ini sebagai tantangan saya. Berbekal pengalaman saya dalam dunia ABK, saya pun akhirnya yakin untuk mencoba mengambil peluang ini. Tidak lama kemudian, saya memutuskan untuk mempresentasikan sosialisasi parenting khusus untuk anak ABK.
Malam pun tiba dan saya harus mulai menyusun rancangan presentasi program kerja di layar laptop. Kebingungan pun melanda saya, karena cukup banyak literatur yang menjelaskan hal ini. Selain itu, ketakutan pun juga kembali datang menghampiri saya dan membuat saya ragu karena takut jika istilah yang saya bawakan cukuplah berat dan tidak dimengerti oleh ibu-ibu PKK. Sejenak saya istirahat, saya mencoba untuk merenung dan bertanya kira-kira strategi seperti apa yang membuat ibu-ibu ini dapat mengerti penjelasan saya. Tak lama kemudian, akhirnya saya baru sadar bahwa saya sempat menonton video yang membuat mata saya berkaca-kaca karena cantiknya lantunan suara seorang peserta America Got Talent yang pada saat itu mengalami speech delay. Selain itu, saya juga baru sadar bahwa sebetulnya banyak public figure di Indonesia yang juga mengalami gangguan psikologis, sebut saja Dedy Corbuzier dengan disleksia sebagai permasalahannya. Berbekal hal tersebut, saya pun akhirnya berkeinginan menambahkan video ini dan mulai menyelesaikan powerpoint dengan kalimat penjelasan yang dibuat sesederhana mungkin.
Hari-hari pun mulai berlalu dan akhirnya pelaksanaan program kerja pun sudah mulai dilakukan. Saya dan beberapa teman mendapatkan kesempatan untuk melaksanakan program kerja di kegiatan program kerja hari kedua dengan tempat yang sama yaitu di aula Kantor Wali Nagari. Acara pada saat itu belum dimulai karena selain pesertanya yang masih sangat kurang sekali, Pak Rafles pun juga masih belum menampakkan dirinya. Namun perlahan ibu-ibu PKK pun datang dan akhirnya tibalah Pak Rafles datang dengan mengucapkan salam. Beliau yang pada saat itu menyapa warganya, kemudian duduk di paling depan. "Ka siko lah, diak" pungkas bapak dengan ramah sambil mengayunkan tangannya untuk mengajak kami sebagai penyaji materi duduk di sebelahnya. Akan tetapi, pada saat itu hanya saya saja yang pada akhirnya maju ke depan yang pada saat itu juga bertanya-tanya mengapa penyaji materi yang lain tidak beranjak dari kursi dan melangkahkan kakinya dan menuju ke depan.
Saya pun duduk di sebelah beliau, berinteraksi, dan mulai berbicara intens disaat salah satu penyaji menyampaikan materi tentang parenting untuk anak non ABK. Pak Rafles dengan senyum hangatnya memulai percakapan dengan bertanya identitas saya. "Saya dari jurusan psikologi, pak." jawab saya. Beberapa waktu kemudian, pembicaraan kami menjadi lebih intens karena kebetulan anak Pak Rafles juga berasal dari jurusan yang sama. Semakin lama pembicaraan kami mulai mengarah ke persoalan yang lebih konkrit terjadi di sekitar Sungai Antuan, salah satunya adalah isu parenting bagi anak yang bersekolah di boarding school. Sekolah dengan jenis ini memanglah cukup menjadi primadona bagi hampir setiap orangtua. Bagaimana tidak, benefit seperti hafal Al-Qur'an hingga pembinaan karakter menjadi jaminan yang akan diberikan oleh sekolah kepada anak yang tentu saja menjadi penawaran menarik bagi sang Ayah dan Ibu. Sayangnya, interaksi yang dibangun oleh orangtua kepada anak pun akhirnya terbatas mengingat boarding school mewajibkan murid-muridnya untuk tinggal dan menginap di asrama sekolah. Selain itu, anak bisa jadi merasa bahwa boarding school itu sendiri adalah suatu kerangkeng sehingga hal tersebut mengarah kepada tindak kenakalan seperti bolos bahkan kabur dari sekolah. Persoalan ini pada akhirnya menjadi salah satu masalah yang cukup dikhawatirkan oleh orangtua sehingga mereka pun berkeluh kesah kepada Pak Rafles.
Sembari menunggu giliran saya presentasi, Pak Rafles pun akhirnya menyeletuk kalau presenter pemateri pertama sangat cepat ketika berbicara dan beliau secara tidak langsung meminta saya untuk lebih pelan lagi dalam mempresentasikan materi. Tibalah akhirnya giliran saya dan saya pun membuka sesi presentasi saya dengan mempertimbangkan permintaan beliau. Presentasi saya mulai dengan memperkenalkan diri dan menjelaskan pengalaman saya dalam dunia ABK sebagai bahan kredibilitas saya sebagai presenter. Tak lama kemudian, Pak Rafles yang pada saat itu duduk di depan, kemudian beranjak untuk pindah duduk ke kursi peserta untuk melihat presentasi saya. Saya cukup takut pada saat itu, tapi saya coba lawan ketakutan saya untuk berbicara di depan umum terutama di depan seseorang yang terhormat seperti Pak Rafles ini. Saya pun melanjutkan presentasi saya dan mencoba menerapkan strategi lain untuk menjelaskan secara sederhana terkait ABK dengan cara menceritakan pengalaman-pengalaman saya saat mendampingi ABK. Selain itu, strategi lain yang saya coba terapkan untuk menjaga atensi peserta adalah dengan mengajarkan suatu teknik yang sifatnya praktis sehingga pada saat di penghujung acara saya coba untuk mengajak ibu-ibu PKK untuk melakukan brain gym dalam menangani ABK. Ibu-ibu PKK pun terlihat cukup antusias dalam menerapkan instruksi yang saya berikan dan sesi ditutup dengan tanya jawab serta foto bersama. Walaupun memang masih banyak kekurangan, saya merasa cukup puas karena setidaknya saya mendapatkan satu pencapaian: Bahwa saya melawan rasa takut saya ketika menyampaikan pengalaman saya kepada banyak orang.
Mungkin sekian. cerita yang bisa saya sampaikan terkait kegiatan KKN saya dalam menjalani program kerja saya sendiri yaitu sosialisasi parenting bagi ABK. Saya ucapkan banyak terimakasih kepada Ibu DPL, Ibu DR.Verinita, SE., M. Si. yang membimbing kami tim KKN dengan penuh kesabaran, Bapak Wali Nagari Sungai Antuan, Pak Rafles, S.Ap yang menyambut dan menerima kami dengan ramah, Perangkat Nagari Sungai Antuan dan Kepala Jorong yang sudah membantu kami menyelesaikan program kerja, serta teman-teman KKN seperjuangan yang menemani hari-hari saya selama 30 hari lebih. Saya berharap cerita ini dapat saya ambil hikmahnya dan menjadi salah satu peristiwa batu loncatan yang akan saya ingat terus bahkan di hari tua nanti. Sekian dan terimakasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H