Sudah banyak yang membahas bahwa Perekonomian Indonesia kuartal II 2020 mengalami kontraksi 5,32%. Namun, sedikit yang melihat bahwa di waktu yang sama (Juli 2020), ekonomi Indonesia juga mengalami deflasi sebesar 0,10%.
Bagi para ekonom, kombinasi resesi dan deflasi adalah mimpi paling buruk. Resesi membuat kapasitas perekonomian menyusut, dan deflasi (penurunan harga-harga) membuat kemampuan untuk rebound menjadi sangat kecil.
Ketika terjadi deflasi, profit margin perusahaan mengecil, hingga suatu titik di mana perusahaan perlu melakukan efisiensi tenaga kerja. Keinginan untuk investasi juga tentu akan turun, mengingat lemahnya permintaan sebagai penyebab dari terjadinya deflasi.
Dalam kurva Supply & Demand sederhana, deflasi dan resesi terjadi ketika kurva Demand turun, sehingga keseimbangan baru terletak pada harga dan output yang lebih rendah.
Dari sisi konsumen, deflasi menyebabkan munculnya spekulasi dan penundaan belanja. Apabila inflasi mendorong konsumen belanja saat ini demi menghindari harga tinggi di kemudian hari, deflasi menyebabkan konsumen menunggu untuk mendapatkan harga yang lebih murah. Sehingga konsumsi terhambat.
Dari sisi perbankan, distribusi dana kepada sektor usaha tentu akan ditahan, mengingat tingginya potensi gagal bayar akibat lemahnya permintaan. Perbankan akhirnya memilih untuk meletakkan dana di surat utang negara. Dampaknya, dunia usaha sulit bangkit karena macetnya stimulus kredit.
Lalu apa yang dilakukan pengambil kebijakan? Mainstream kebijakan untuk menangani resesi dan deflasi adalah pemberian stimulus besar-besaran. Amerika misalnya, terkenal dengan program quantitative easing yang pada dasarnya adalah usaha untuk mendongkrak perekonomian agar kembali mencapai inflasi pasca kehancuran pasar perumahan.
Indonesia pun menjalankan hal yang sama dengan program Pemulihan Ekonomi Nasional. Masalahnya, dalam kondisi tidak punya uang, ya terpaksa harus utang. Pembayaran bunga utang akhirnya menjadi salah satu pos belanja yang mengalami kenaikan paling signifikan secara persentase pada APBN 2021 nanti.
Tentu ada perspektif lain dalam melihat deflasi.
Bagi sebagian pandangan alternatif, deflasi pada dasarnya adalah detoksifikasi yang dibutuhkan untuk "membunuh" para spekulan dan memecahkan gelembung harga. Kembali ke contoh Amerika, deflasi memang menyebabkan harga rumah merosot tajam sehingga banyak orang kehilangan aset, namun ternyata tingginya harga rumah yang dibanggakan sebagai indikator pertumbuhan hanyalah gelembung (bubble) akibat tingginya spekulasi.
Peningkatan pembelian rumah didorong sedemikian rupa melalui pemberian kredit murah tanpa kehati-hatian, bahkan seorang pekerja bar bisa memiliki 2-3 rumah, semua ini dalam rangka window dressing perekonomian. Semua terkesima dengan pesatnya pertumbuhan, sampai akhirnya gagal bayar berlanjut deflasi datang untuk menyadarkan semua orang.