Lihat ke Halaman Asli

Ibrohim Abdul Halim

Mengamati Kebijakan Publik

Apakah Jokowi Akan Lengser karena Putusan MA?

Diperbarui: 8 Juli 2020   09:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gedung Mahkamah Agung RI. Foto: Radar Cirebon

Baru-baru ini MA mempublikasikan Putusannya No. 44 P/HUM/2019 terkait pembatalan Peraturan KPU 5/2019 Pasal 3 ayat 7 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih. 

Dalam Peraturan tersebut, KPU menetapkan pasangan calon terpilih hanya dari suara terbanyak. Peraturan ini dianggap menyalahi pasal 416 UU 7/2017 Tentang Pemilu, di mana calon terpilih harus memperoleh suara lebih dari 50% dan sedikitnya 20% suara di lebih dari setengah Provinsi di Indonesia (presidential thresold).

Dalam putusannya bertanggal 28 Oktober 2019 itu, MA menyatakan bahwa pasal 3 ayat 7 PKPU 5/2019 tersebut bertentangan dengan UU di atasnya yakni UU Pemilu 7/2017, dan oleh karena itu dinyatakan tidak mempunyai Kekuatan Hukum mengikat.

Dalam teori hukum, putusan pengujian di MA terbagi dua kategori, yakni ex tunc dan ex nunc. Putusan ex tunc bersifat berlaku surut (retroaktfi), sementara ex nunc bersifat berlaku ke depan (prospektif). Umumnya, putusan MA bersifat ex nunc, kecuali disebutkan eksplisit dalam putusan bahwa ia berlaku surut dan membatalkan seluruh akibat hukum yang berlaku.

Dalam putusan MA di atas, penulis tidak menemukan sifat ex tunc, sehingga tafsir penulis atas putusan tersebut kira-kira seperti ini: 

MA "menegur" KPU agar ke depan jangan membuat peraturan tanpa mengindahkan UU yang lebih tinggi, dalam hal ini UU Pemilu. Jika memang ada aturan yang belum terdapat di UU, semisal dalam hal ini kontestasi oleh dua pasangan calon, maka perlu dibuat Perppu atau tafsir UU ke MK, baru kemudian KPU menerbitkan peraturan dengan mengacu kepada hal tersebut.

Jika dirunut kembali, kesalahan sebenarnya telah terjadi sejak pembentukan UU Pemilu 7/2017, di mana UU tersebut tidak mempertimbangkan Putusan MK 50/PUU-XII/2014. 

Dalam putusan tersebut, MK menyatakan bahwa Pasal 159 (1) UU Pilpres yang berbunyi "Pasangan Calon terpilih adalah Pasangan Calon yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari (setengah) jumlah provinsi di Indonesia" telah dibatalkan secara bersyarat, dalam hal ini syaratnya adalah jika kontestasi hanya terdiri dari dua pasang calon.

Namun, substansi Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres yang telah dibatalkan oleh MK tersebut justru dirumuskan kembali dengan sama persis dalam pasal 416 ayat (1) UU 7/2017 tentang Pemilu. Oleh karena itu, pasal 416 ayat (1) UU Pemilu juta otomatis tidak memiliki kekuatan hukum karena sudah pernah diuji dan diputuskan oleh MK (mutatis mutandis).

Di sinilah masalah hukum terjadi: MA memutus pasal 3 ayat 7 PKPU 5/2019 dengan merujuk pasal 416 UU Pemilu, padahal pasal tersebut sudah pernah diputuskan oleh MK tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang hanya ada dua pasangan calon.

Dari perspektif itu, banyak ahli hukum menyatakan bahwa Putusan MA 44/P/HUM/2019 tidak memiliki implikasi hukum apapun. Selain daripada ia tidak berlaku surut, objek sengketa berupa pasal 3 ayat 7 PKPU 5/2019 tidak mempengaruhi Keputusan KPU RI 1185/PL.01.9_KPT/06/KPU/VI/2019 tentang Penetapan Capres-Wapres terpilih, yang sudah disengketakan dan diputuskan oleh MK. Artinya, Capres-Wapres terpilih tetap sah, dan Putusan MA di atas hanya bersifat normatif prospektif.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline