Lihat ke Halaman Asli

Ibrohim Abdul Halim

Mengamati Kebijakan Publik

Dilema Subsidi Energi Berbasis Komoditas

Diperbarui: 18 Juni 2020   08:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi subsidi energi. Foto: Detik

Dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal 2021, disebutkan bahwa Pemerintah akan melakukan reformasi subsidi energi secara bertahap. Prosesnya akan dimulai dari perubahan bentuk subsidi LPG tabung 3kg, di mana bentuk subsidinya tidak akan lagi berbasis komoditas, tapi langsung berbasis orang.

Subsidi berbasis komoditas seperti gas dan minyak (BBM) memang punya masalah salah sasaran yang besar. Sebab, komoditas tersebut bisa diakses oleh siapapun, termasuk kelas menengah atas.

Idealnya memang subsidi langsung dibasiskan ke penerima, sebagaimana program bansos. Meskipun wacana ini sudah lama mengemuka, tapi hingga kini belum juga terealisasi karena ada beberapa masalah.

Pertama, untuk melakukan subsidi berbasis orang dibutuhkan data yang akurat. Masalahnya keakuratan data itu tidak dimiliki oleh Pemerintah, utamanya Pemerintah di daerah. DTKS Kemensos yang dirasa paling akurat saja diperbarui maksimal 4 bulan sekali, itu pun kalau petugas di lapangan tidak sekedar copy-paste dari database periode sebelumnya.

Sudah bukan rahasia lagi jika dalam data tersebut terdapat data ganda, silang-sengketa KK, warga yang sudah meninggal, dan masuknya aparatur negara.  

Kedua, selama ini persentil pendapatan bawah sudah mendapatkan berbagai bantuan sosial dari Pemerintah, mulai dari Program Keluarga Harapan, Kartu Sembako, bantuan usaha, dll. Jika mereka mendapatkan lagi subsidi gas dan minyak, maka keuntungan untuk menjadi miskin akan semakin besar. Ini bisa menjadi moral hazard. Dampaknya, orang miskin mungkin tidak mau keluar dari kemiskinannya.

Ketiga, permasalahan bansos tunai selama ini adalah penggunaannya oleh masyarakat yang tidak tepat tujuan. Misalnya penerima diberikan bansos untuk membeli daging, tapi justru dibelikan rokok. Literasi finansial bagi kalangan pendapatan menengah ke bawah masih sangat rendah, sehingga mereka belum terbiasa menyiapkan alokasi keuangan yang baik.

Maka sekalipun secara nominal ada peningkatan keuangan, secara riil daya beli mereka terhadap komoditas tersebut (gas dan minyak) akan lebih rendah karena harga naik sementara uang sudah digunakan untuk keperluan lain.

Keempat, transformasi subsidi dari komoditas ke orang tentu akan meningkatkan harga jual komoditas tersebut. Jangan sampai ini dijadikan kesempatan untuk meningkatkan harga ke tingkat yang tidak masuk akal, dengan alasan sudah ada subsidi langsung ke orang. Pemerintah harus memastikan BUMN terkait tidak memasukkan biaya inefisiensi mereka ketika harga dilepas, karena ini juga akan memberatkan kelas menengah dan dunia usaha, khususnya UMKM.

Oleh karena itu, pengambil kebijakan tidak bisa menghentikan analisisnya pada apa yang baik / apa yang seharusnya sesuai standar keilmuan, tetapi juga harus mampu melakukan proyeksi bagaimana implementasinya di lapangan. Kita dukung subsidi berbasis orang, dengan catatan agar tepat sasaran dan tepat penggunaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline