Lihat ke Halaman Asli

Ibrohim Abdul Halim

Mengamati Kebijakan Publik

New Normal sama dengan New Cases?

Diperbarui: 10 Juni 2020   08:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Masyarakat berdesakan dalam Pandemi. Sumber: Detik

Update kasus positif Covid-19 pada tanggal 9 Juni 2020 mengejutkan banyak orang. Pasalnya, terjadi penambahan kasus positif sebanyak 1.043 orang, angka tertinggi penambahan kasus semenjak pertama kali Pemerintah mengumumkan Covid-19 di awal Maret. Mirisnya, kasus tertinggi ini justru muncul tidak lama setelah Pemerintah mengumumkan kebijakan New Normal.

Dalam siklus Covid-19 yang 14 hari, penambahan kasus tertinggi tersebut diduga berasal dari aktivitas lebaran, di mana sebagian masyarakat tidak bisa menahan diri untuk tetap di rumah dan menjalankan silaturahmi seperti dalam kondisi normal. Padahal, berdasarkan pengamatan penulis dari lingkungan sekitar dan media massa, aktivitas lebaran kali ini relatif tidak terlalu mengumpulkan massa, apalagi jika dibandingkan dengan kondisi hari ini.

Semenjak pengumuman new normal, masyarakat seperti dipaksa "berdamai" dengan Korona. Kantor mulai dibuka, sehingga pekerja kantoran kembali memadati ibu kota. Dampaknya, terjadi lonjakan dalam penggunaan transportasi publik seperti Commuter Line dan Transjakarta. Di beberapa stasiun KRL, penumpang antri berdesak-desakan tanpa mengindahkan jarak.

Ada ungkapan menarik terkait new normal. Pada kondisi normal, aktivitas macet tapi tanpa virus. Pada kondisi new (Covid-19), aktivitas lancar tapi dibayangi oleh penyebaran virus. Pada kondisi new normal, aktivitas macet karena orang mulai kembali ke jalan dalam kondisi virus masih menyebar dengan aktif. Peningkatan kasus mungkin bisa dilihat dalam 14 hari setelah new normal diumumkan pada 5 Juni 2020.

Padahal, WHO telah mengeluarkan setidaknya enam indikator yang harus ada bagi negara yang ingin menerapkan new normal. Pertama, transmisi Covid-19 telah terkontrol. Kedua, kapasitas sistem kesehatan mampu untuk mendeteksi, menguji, mengisolasi, dan menangani setiap kasus serta menelusuri kontak. Ketiga, Pemerintah mampu mengurangi risiko wabah pada tempat berisiko tinggi.

Keempat, upaya pencegahan harus diterapkan di seluruh tempat umum termasuk kantor dan sekolah. Kelima, risiko penyebaran kasus yang diimpor mampu dikendalikan. Dan terakhir, masyarakat sepenuhnya memahami bahaya virus, serta ikut berperan dan diberdayakan dalam menghadapi new normal.

Dari keenam kriteria tersebut, pada dasarnya Indonesia belum siap memasuki new normal.

Namun, karena kebijakan ini sudah diterapkan, dalam kondisi masyarakat sudah lepas tangan dan tenaga kesehatan sudah kelelahan, kita harus bersiap menghadapi kurva yang kembali menanjak.

Di DKI Jakarta misalnya, setelah kasus baru tertinggi pada 16 April, 10 Mei, dan 14 Mei, kurva kasus Korona DKI Jakarta relatif mengalami penurunan, bahkan pada 4 Juni mencapai titik terendak penambahan kasus baru, yakni "hanya" 61 kasus. Tepat setelah Pemerintah umumkan New Normal pada 5 Juni, kurva Corona DKI langsung menanjak.

Masalahnya, kenaikan kasus positif juga meningkatkan kasus meninggal. Dalam kondisi normal, kematian seseorang bisa kita antarkan hingga ia tenang di peristirahatan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline