Lihat ke Halaman Asli

Ibrahim Quraisy

Website Developer

Susahkah Makanan Tradisional Menjadi Makanan "Lifestyle"?

Diperbarui: 21 Desember 2015   10:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Angkringan (sumber Ceritaperut[dot]com)"][/caption]Siapa yang tidak mengenal sushi, pasta, atau Pizza yang saat ini menjamur di berbagai pelosok Indonesia. Hampir di setiap kota besar berjejer restoran yang menyajikan makanan yang berasal dari luar negeri. Kawula muda yang ingin memulai bisnis kuliner kebanyakan ingin membuat susuatu yang berbau luar. Namun, sedikit yang membuka usaha seperti angkringan atau warteg.

Tidak gaul adalah ungkapan yang sering diucapkan oleh generasi muda jika nongkrong di tempat-tempat seperti itu. Fenomena ini menjamur sehingga mengakibatkan perilaku berhemat seminggu untuk makan di restoran gaul yang menyajikan makanan yang kononnya sudah menjadi gaya hidup urban masa kini. Angkringan atau warteg di kota-kota besar seperti Jakarta hanya untuk golongan yang bagi mereka tidak selevel.

Ironis adalah ungkapan yang bisa kita katakan ketika terjangan kuliner luar yang justru mematikan kuliner lokal. Coba tanyakan kepada generasi sekarang kapan mereka terakhir kali makan kerak telur atau putu? Jawaban yang sering diungkapkan adalah kalau ada event saja seperti Jakarta Fair, tapi coba tanyakan kapan terakhir kali mereka makan pasta, spagheti, atau pizza.

Susahkah makanan tradisional menjadi gaya hidup masyarakat urban. Rapat di warteg atau sekedar mengulas pelajaran di angkringan dan betah berlama-lama meminum kopi jos. Itulah yang menjadi pertanyaan saya saat ini.

Pandangan saya kita sendiri yang memusnahkan kuliner Indonesia. Setiap weekend kita membawa keluarga untuk makan di restoran fastfood mencoba paket-paket baru atau ke restoran jepang yang kita rela antri untuk mendapat makanannya. Dua puluh tahun dari sekarang apakah anak-anak kita akan mengenal putu mayang, lepak bugis, atau sayur godog.

Saat ini sangat susah mencari makanan tradisional. Situasinya adalah kuliner lokal terpinggirkan di daerahnya sendiri. Jika event yang menyajikan makanan lokal diadakan, jangan tanyakan kenapa jarang ada yang datang membeli. Jika kita tanyakan pengunjung jawabannya pasti karena mahal. Jika tanyakan ke pedagang kenapa jual mahal jawabnya karena bootnya mahal. Dari mana pedagang mau bayar sewa jika boot mahal selain dari harga jualan yang harus naik. Apakah Anda mau membeli kerak telor seharga dua puluh ribu. Tentu saja tidak. Harga seporsi mie ramen pasti akan lebih murah dibandingkan kuliner lokal. Ini adalah teknik marketing yang membuat usaha kuliner asli Indonesia menjadi terpinggirkan.

Rasa makanan luar juga bukan jaminan. Karena jika Anda datangkan orang dari negara luar untuk mencoba makanan dari negara mereka yang dijual di Indonesia mereka juga akan merasa kok rasanya beda. Karena rasa makanan luar di Indonesia jarang yang otentik.

Jangan tanya kenapa anak-anak kita tidak menyukai kuliner lokal karena kita sendiri yang membiasakan mereka dari kecil makan makanan luar. Anak-anak akan merengek ke orang tuanya di bawakan ayam goreng amerika tapi sedikit yang menangis tidak dibelikan ketoprak. Jangan dulu takutkan serangan pekerja asing di era MEA, karena kita sudah kalah lebih dahulu di bidang kuliner.

Sebelum barat memasukkan salad ke menu makan siang Indonesia sudah ada gado-gado yang tentunya kita tidak akan makan lagi karena sudah kenyang duluan dibandingkan salad hanya makanan pembuka. Jangan bicarakan sehat atau tidak sehat, tapi bicarakan apakah Anda betul-betul rakyat Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline