Lihat ke Halaman Asli

Beda, Nasionalis dengan Nasionalis Religius

Diperbarui: 17 Juni 2015   10:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Beda, Nasionalis dengan Nasionalis Religius

Oleh : Ibrahim Arsyad

Akhlak politik berdasarkan moralitas keagamaan; itu yang senantiasa digaungkan Partai Amanat Nasional dalam setiap kesempatan berbicara dengan konstituen dimanapun berada. Sebuah pernyataan terkesan sederhana namun sesungguhnya memiliki makna yang sangat dalam. Dalam karena sesungguhnya inilah yang menjadi dasar pola pikir, pola sikap dan prilaku siapapun yang tergabung dan menjadi kader PAN. Sementara kader adalah; sekelompok orang yang tergabung dalam suatu wadah organisasi, terbina dalam organisasi tersebut,bergerak sesuai aturan main organisasi untuk mencapai tujuan bersama, menjadi tulang punggung serta menjadi andalan untuk menyuarakan platform-visi-missinya bagi masyarakat luas. PAN adalah partai terbuka untuk agama apapun, bahwa semua agama mengajarkan ummatnya untuk berbuat kebaikan dan melarang kejahatan inilah paradigma dasar dimana PAN menempatkan nilai perjuangan dan kejuangan dalam segala aktivitasnya. Artinya, sifat terbuka yang dimiliki mengikat untuk sama-sama berbuat kebaikan dan melarang/menghindari kesalahan maupun kejahatan, lebih jelas terbuka dalam koridor yang mengikat. Pengibaratan lebih simpel, terbuka tetapi ada klep yang mengatur keterbukaannya.

Dengan demikian, sifat terbuka yang dimiliki memiliki kontrol yang jelas dan tergambar dalam platfor-visi-missinya. Sebuah pernyataan MAR sebelum pembentukan PAN disaat diminta bergabung dan memimpin PPP kira-kira demikian,”PPP adalah partai yang bagus, namun ibarat sebuah baju, saya merasakan terlalu sempit sehingga tidak nyaman untuk dipakai dan kurang bisa bergerak bebas.” Inilah yang mesti dicermati dengan dalam makna yang dimaksudkan MAR. Karenanya, bagi kader PAN, MAR adalah Guru Besar politik, karena beliaulah yang meletakkan dasar filosofi terdalam bagi PAN, tidak bisa ditampik oleh siapapun. Makna terbuka dalam koridor, memiliki arti yang dalam, disatu sisi mengikat sebuah semangat untuk senantiasa berjuang menegakkan kebenaran dan keadilan, menjauhi/menolak kesalahan maupun kejahatan, disisi lain menerima semua elemen bangsa dari latar belakang manapun untuk bergabung bersama-sama.

Oleh karena itu, jika ikatan emosional ini benar-benar terbangun kuat dalam jiwa dan raga kader-kadernya, maka sesungguhnya tidak ada alasan untuk terjadi perpecahan dalam partai ini. Sejauh ini telah teruji sebagai satu-satunya partai yang tidak pernah mengalami perpecahan. Beda pendapat adalah hal biasa, kader juga diajarkan untuk senantiasa kritis dalam menyikapi berbagai macam persoalan baik internal maupun persoalan bangsa yang lebih luas. Kini, menjelang Kongres IV di Bali, kembali akan diuji sejauhmana PAN memiliki soliditas. Akan bisa dilihat nantinya pasca kongres. Kalau kader-kadernya masih memegang teguh paradigma perjuangan yang yang dimiliki PAN, maka tidak ada alasan sedikitpun untuk terjadi seperti yang dialami PPP maupun Golkar baru-baru ini. Akankah demikian? Tentu akan kita tunggu pembuktiannya.

Konsekuensi lain sebagai partai terbuka dalam koridor, mereka yang tidak memahami koridor karena belum kuat kekaderannya, inilah yang sesungguhnya dikhawatirkan. Harus diakui juga, klaim sebagai partai massa sekaligus partai kader masih dirasakan belum maksimal. Perkaderan walaupun senantiasa kualitasnya diupayakan ditingkatkan, namun keterbukaan yang dimiliki harus diakui rem-rem yang ada tidak semuanya memiliki pemahaman yang signifikan. Keragaman juga menjadi kekayaan di PAN. Adalah tidak mudah mengelola keragaman yang ada walaupun sejauh ini cukup teruji. Bukan sebuah pesimisme, namun realitanya semakin kayanya pandangan-pandangan yang ada, maka semakin kompleks juga ruang perbedaan.  Perbedaan bukan untuk dihindari, perbedaan juga menjadi kekayaan unik PAN, perbedaan justru untuk dikelola dengan baik.

Konsekuensi nasionalis religius juga, walaupun demokrasi terbuka seluas-luasnya di PAN untuk terus ditegakkan, namun dalam kondisi tertentu yang dinilai krusial kebijakan tegas dan keras mungkin saja terjadi dalam rangka penyelamatan. Catat; ini bukan kesalahan, karena ikatan koridor juga menjadi hal utama. Namun yang harus diingat, bentuk penyelamatan yang dimaksud adalah penyelamatan masa depan partai, bukan penyelamatan personal. Karenanya pada waktu-waktu tertentu di era keemasan MAR, beliau juga melakukan langkah itu seperti yang pernah terjadi di Kongres Batam. Dua bulan lalu saya sempat membuat status bahwa PAN rasanya sedang memainkan “antitesa kuda troya” sebuah teori berangkat dari sejarah Romawi.

Namun harus diingat, perkembangan senantiasa terjadi, ada keterbatasan manusia untuk terus berada pada kemampuan terbaiknya seiring dengan bertambahnya usia. Karena itu yang perlu terus dijaga dan kembangkan adalah substansi dari sebuah ajaran. Kader PAN diajarkan memiliki sense of belonging dan sense of responsibility, rasa memiliki dan rasa peduli, tentu kekritisan menyikapi kondisi dan perkembangan kondisi adalah penting. Sikap kritis ini tidak boleh mati, harus terus tumbuh dan berkembang, termasuk kritis terhadap gurunya sekalipun. PAN berbeda dengan PKB yang begitu mengagungkan Gus Dur. Yang diagungkan PAN adalah bukanlah personal, akan tetapi ajaran untuk senantiasa menegakkan kebenaran dan menolak kejahatan. Jadi di dalam PAN tidak ada personal 1 orangpun yang identik dengan kebenaran. Ada kalanya seseorang berbuat keliru, dan di situlah gunanya saling mengingatkan dengan sikap kritis yang dimiliki.

Begitu juga dengan ide-ide perubahan, ide ini lebih bermakna substansial, bukan cassing atau kulitnya saja. Terlalu prematur jika dilihat hanya cassing atau kulit, atau bahkan hanya jargon tanpa mampu menderivasikan secara gamblang ide yang dimaksud. Ide perubahan hanya bisa dilakukan secara substansial oleh mereka yang menguasai secara dalam dan komplet kekaderannya, pengalaman dan klas pengalamannya, intelektualitas dan kecerdasannya, kematangan emosional, keluasan waktu untuk berkonsentrasi secara utuh, pengakuan dari yang lain dan popularitasnya di mata publik, serta konsistensinya dalam menjalankan amanah. Yang seperti inilah lebih menjamin untuk senantiasa terjadinya perubahan yang mengarah pada kebaikan dan peluang untuk membesarkan PAN sehingga lebih siap menghadapi pemilu 2019. Oleh karena itu dari 2 kandidat kuat calon Ketua Umum PAN periode 2015-2020,keduanya kader terbaik PAN saat ini, saya melihat bahwa Hatta Rajasa lebih berpeluang untuk bisa membesarkan PAN, beliau memiliki lebih komplit dari saingannya Zulkifli Hasan.

Oleh karena itu, karena PAN adalah partai terbuka dengan koridor (red: bukan terbuka ansich), maka yakinlah, sepanjang itu benar-benar menjadi pegangan kuat para kadernya, maka apapun yang terjadi dalam dan pasca kongres nanti, PAN akan tetap utuh. Beda dengan partai yang hanya terbuka saja tanpa koridor, siapapun bisa masuk dan turut membangun atau bahkan mengobok-obok sesuai dengan muatan ideologi bawaannya. Lain halnya jika di PAN, kalaupun ada eksternal yang coba memainkan peranan campur tangan dengan cara apapun, insya Allah itu hanya akan menjadi assesories dalam perjalanan PAN, memeriahkan pesta demokrasi 5 tahunan PAN. Wellcome siapapun yang mau bergabung bersama PAN, namun ikut aturan main PAN, ikuti proses kaderisasi, geluti, nanti akan paham dan bersama-sama mari kita besarkan PAN sebagaimana platform-visi-missi PAN.

Penulis adalah Wakil Ketua DPW PAN Kalbar, anggota Instruktur Nasional Partai Amanat Nasional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline