Lihat ke Halaman Asli

Jangan Ambil Uangnya

Diperbarui: 4 Desember 2015   17:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Beberapa hari kedepan sebagian besar daerah di Indonesia akan menyelenggarakan pesta demokrasi terbesar tahun ini, yakni pilkada serentak 9 Desember 2015. Tercatat sebanyak 269 daerah yang akan memilih pemimpin baru di daerahnya.

Pemilihan kepala daerah ini akan menjadi titik awal penentuan bagus tidaknya daerah itu lima tahun kedepan, tergantung kepala daerah yang terpilih nanti. Apakah pemimpin yang ikhlas bekerja untuk rakyat dan memperbaiki daerahnya ataukah pemimpin yang hanya bekerja atas dasar kepentingan pribadi semata demi memperkaya diri dan golongan-golongannya.

Pilkada kali ini akan dilakukan hanya satu putaran, jadi walaupun cuma selisih satu suara sudah bisa ditentukan siapa pemenangnya. Berbeda dengan pilkada pilkada sebelumnya yang harus memenuhi jumlah persentase tertentu baru bisa menang, sehingga jika tidak tercapai akan dilakukan putaran kedua.

Hal inilah yang membuat semua pasangan calon akan all out berjuang untuk menang saat pemilihan, mereka yang sangat haus kekuasaan akan menempuh ‘berbagai cara’ termasuk cara-cara yang melanggar aturan.

Salah satu hal yang tidak bisa dihindarkan dari kegiatan pilkada nanti adalah maraknya politik uang atau jual beli suara. ‘Serangan fajar’ biasa menjadi cara andalan untuk meraup suara pemilih.

Seorang calon kepala daerah akan memberikan sejumlah amplop (baca: uang) kepada pemilih supaya dia dicoblos dalam bilik suara. Jumlah yang dibagikan biasa bermacam-macam, ada yang kasi 20 ribu, 50 ribu, dan ada yang 100 ribu untuk satu suara. Pokoknya tergantung kemampuan finansial dari sang calon tersebut.

Kebayang kan berapa uang yang harus disiapkan calon itu, belum lagi modal kampanyenya. Uang dari mana itu bro? Bisa jadi milik pribadi sang calon atau hasil berkongsi dengan pengusaha nakal penilap proyek APBD di daerah itu.

Kenapa politik uang dalam setiap pesta demokrasi sulit dihilangkan ya? Salah satu faktor penyebabnya adalah sebeagian besar masyarakat acuh dengn pemilu maupun pilkada, dan dengan mudah menerima pemberian. Mereka bahkan beranggapan bahwa ‘suara’ mereka dapat menghasilkan uang.

Politik uang pun dianggap tidak masalah. Mereka tidak akan berpikir jauh ke depan bahwa uang yang diberikan itu suatu saat akan 'ditarik' kembali oleh para calon yang nantinya terpilih menjadi kepala daerah.

Mereka tidak menyadari adanya permainan politik yang sebenarnya justru merugikan diri mereka sendiri. Hitung hitungan duitnya pasti sudah jadi semua, kapan balik modalnya, berapa keuntungannya, semua sudah diperhitungkan jauh hari sebelumnya.

Saya pernah dengar formula ‘2-2-1’ dari obrolan teman,katanya dalam 5 tahun periode pemerintahan itu terbagi beberapa waktu. Waktu 2 tahun pertama untuk balikin modal kampanye, 2 tahun kedua untuk kumpulin duit sebanyak banyaknya, dan 1 tahun terakhir untuk persiapan pilkada berikutnya. Tapi entahlah rumus ini benar atau tidak?hhehe

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline