Lihat ke Halaman Asli

Bali Bersholawat yang Dipermasalahkan

Diperbarui: 29 Desember 2016   11:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya mendapat kiriman foto (Screnshoot ) yang berisikan undangan Bali Bersholawat II lengkap dengan komentar seseorang yang keberatan acara tersebut diadakan di lapangan terbuka di jembrana pada 4 Januari mendatang. Bukan hanya itu, difoto itu juga ia merasa tak terima jika pulau bali yang ada dalam undangan tersebut ditulisi tulisan yang menurutnya asing.

Penasaran dengan kiriman teman saya tadi, saya langsung kroscek di Facebook yang ternyata sudah menjadi viral bagi masyarakat hindu bali, yang kesemuanya merasa kegiatan bersholawat tersebut khawatir disusupi kelompok isis atau teroris yang ingin menghancurkan bali.

Dari komentar-komentar itu, seolah Islam sedang mengancam bali yang mayoritas Hindu. Sehingga tak jarang keluar kalimat-kalimat kasar yang menyudutkan keberadaan Islam yang telah lama berada di bali.

Kenapa sebagian besar Umat Hindu Bali menghawatirkan kegiatan kegamaan umat Islam di Bali? Setidaknya bisa dijelaskan beberapa hal :

Pertama, ledakan Bom Bali tahun 2002 dan 2005 yang kebetulan pelakunya beragama Islam, oleh umat Hindu Bali memunculkan prasangka negatif kepada penganut Islam secara keseluruhan. Ini dibuktikan dengan ramainya pengistilahan Penduduk Asli dan Penduduk Pendatang.

Identifikasi terhadap Penduduk Asli adalah mereka yang beragama Hindu, sementara mereka yang tidak beragama Hindu adalah Penduduk Pendatang.

Pandangan seperti ini tentunya tidak bisa serta merta digenaralisir, sebab eksistensi Islam di Bali bukan baru sepuluh duapuluh tahun, melainkan sudah ratusan tahun. Sehingga umat Islam yang sudah beranak pinak tetap dikatakan pendatang, walaupun ia sama sekali tidak mengenal istilah “mudik” saat hari raya, karena semua keluarganya berada di Bali.

Karena dipersepsikan sebagai Penduduk Pendatang, maka umat Islam di Bali dikatakan sebagai warga tamu yang numpang, yang mau gak mau harus mengikuti tuan rumah (Baca : Hindu). Bali sebagai pulau, seakan sudah dilabeli sebagai “miliknya” umat Hindu. Hal ini berakibat sang “tuan rumah” harus selalu waspada terhadap siapapun, termasuk kepada mereka yang asli kelahiran bali namun kebetulan dia dilahirkan sebagai seorang muslim.

Kedua, berkaitan dengan semaikn terancamnya keamanan dan semakin terancamnya eksistensi budaya (juga orangnya) Bali oleh pendatang, didengungkanlah wacana Ajeg Bali, yang wacana kebudayaan ini ditentang oleh beberapa kelompok intelekttual Bali, sebut saja Ngurah Suryawan (Antropolog) , juga AA. GN. Ary Dwipayana (sekarang Staff Ahli Presiden RI).

Ngurah Suryawan mengungkapkan jika gerakan Ajeg Bali justru kan membekukan budaya Bali, juga menyulut benih-benih gerakan essensialisme kebudayaan yang secara tak langsung memunculkan gerakan fundamentalisme Hindu.

Begitu juga dengan Dwipayana, jika sebenarnya Wacana Ajeg Bali yang telah membius masyarakat hindu bali memiliki sederet kepentingan kapital kelompok pemodal demi keuntungan industri pariwisata. Dimana menurutnya, pariwisata di bali sangat tergantung dengan budayanya, jika budaya bali hilang, maka bali akan kehilangan daya tariknya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline