Lihat ke Halaman Asli

Pilihan Gerakan AKRAB

Diperbarui: 17 Juni 2015   12:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Asosiasi Mahasiswa Krama Bali (AKRAB) Malang yang bediri pada tahun 2008, memiliki semangat yang sama dengan model kelompok mahasiswa kedaerahan lainnya. Dimana organisasi mahasiswa daerah (Ormada) yang ada pada saat itu ingin mengembalikan isu-isu daerah yang semula dikesampingkan menjadi isu strategis yang harus disikapi dan diperjuangkan.

Kebanyakan aktivis mahasiswa yang tergabung di berbagai organisasi pengkaderan seperti HMI, PMII, IMM dan lainnya, hanya berfokus pada isu-isu nasional yang berpusat di Jakarta, kemudian melupakan pada isu-isu yang sebenarnya langsung bersentuhan dengan masyarakat di daerah. Minimnya perhatian dan kemauan mahasiswa Bali untuk mengetahui kondisi Bali sebenarnya, adalah menjadi semangat awal berdirinya AKRAB yang hingga hari ini sudah menginjak pada tahun yang ke tujuh.

Dari semangat tersebut, pada masa-masa awal kepengurusan, kegiatan AKRAB difokuskan pada peningkatan pengetahuan mahasiswa Bali tentang ke-Bali-an. Berbagai referensi buku dikumpulkan kemudian dikaji agar pengetahuan anggota tentang Bali benar-benar utuh. Walaupun memang harus diakui, pada saat itu konsentrasi bahasan berkutat pada sejarah Bali dan berbagai kontradiksi Bali dari berbagai citra yang menyanjung Bali.

Setelah kami kaji melalui berbagai obrolan-obrolan warung kopi, diskusi hingga mengadakan bedah buku tentang ke-Bali-an, bahwa hegemoni citra akan pulau surga hanyalah slogan-slogan manis yang sebenarnya pahit. Dari berbagai penulis yang melihat sisi lain Bali ini, semua berkesimpulan dengan menarik benang merah bahwa semua yang ada di Bali itu palsu. Manusia Bali yang selalu senyum, bukanlah muncul dari nilai kebudayaan yang terwarisi, melainkan demi penghambaan pada industri yang bernama Pariwisata.

Ketika pariwisata Bali betul-betul menjadi andalan pariwisata nasional, disaat itu juga banyak gelombang pendatang dari luar Bali yang mengadukan nasib ke Bali. Muncullah kemudian sentiment anti pendatang dikarenakan tenaga asli putra Bali kalah skill dengan para pendatang. Puncaknya adalah saat terjadi Bom Bali pada tahun 2002, yang kebetulan tersangkanya adalah penganut agama Islam. Kebencian penduduk Bali terhadap pendatang, berubah menjadi kebencian terhadap Islam. Rakyat Bali terlalu dini menyimpulkan bahwa rusaknya Bali ini karena adanya penduduk Islam.

Dari wacana liar tersebut, diamini oleh beberapa Tokoh Bali yang kemudian dilanjutkan dengan gerakan kebudayaan bernama Ajeg Bali. Gerakan Ajeg Bali seakan ingin mengeliminasi sejarah kebudayaan antara Hindu dan Islam Bali yang terjalin harmonis sejak ratusan tahun silam. Gerakan yang juga mengatasnamakan untuk penyelamatan Bali ini, ada indikasi menggiring rakyat Hindu Bali untuk berhati-hati (bahkan Anti) dengan rakyat Islam di Bali yang minoritas.

Walaupun banyak rakyat Bali yang terbius dengan wacana Ajeg Bali, ada juga rakyat (Hindu) Bali yang menolak gerakan Ajeg Bali. Kelompok yang menolak ini mengatakan bahwa Ajeg Bali justru membawa mundur pola pikir rakyat Bali. Menghadapi dunia global yang salah satunya adalah dengan kompetisi terbuka dengan adu skill / pengetahuan, rakyat Bali justru dibawa kembali pada model kebudayaan yang terbentuk pada ratusan atau ribuan tahun silam. Harusnya generasi muda Bali diarahkan pada peningkatan skill untuk bersaing di era modern, bukan pada penghambaan tradisi yang berlebihan. Bahkan ada juga gerakan diskriminatif terhadap agama yang bukan mayoritas akibat mulai tersingkirnya rakyat mayoritas Bali dari pusaran ekonomi. Sehingga wajar jika kemudian H.S. Nordholt dalam bukunya (Bali Benteng Terbuka) mempertanyakan seberapa Pancasila-kah Ajeg Bali ini?

Harus diakui, tantangan Bali kedepan bukan hanya sibuk dengan peningkatan devisa dari industry pariwisata, tapi bagaimana Bali dapat mengantisipasi konflik horizontal yang kemungkinan akan meledak kapan saja. Karena pergeseran persepsi dan prilaku rakyat (sebagian) Hindu Bali terhadap penduduk Muslim yang minoritas sudah terjadi. Yang semula orang Hindu menyebut orang Islam dengan sebutan Nyama Slam yang berkonotasi positif, berubah menjadi Nak Slam yang berkonotasi negatif. Bagaimana mengantisipasinya? Aktivis AKRAB yang harus memulainya.

Pertama, walaupun banyak tujuan yang harus dicapai oleh AKRAB, masalah keretakan social ini harus menjadi prioritas kajian dan gerakan AKRAB kedepan. Anggota AKRAB harus diperkenalkan dengan situasi Bali sebenarnya, mulai dari kesejarahan, kebudayaan, ekonomi hingga pada situasi politik yang sedang berkembang. Aktivis AKRAB juga harus didorong untuk membaca berbagai referensi salah satunya dengan membaca buku. Ada beberapa penulis yang bisa dijadikan refrensi bacaan seperti I Ngurah Suryawan, Aryanta Sutama, Ketut Syahruwadi Abbas, AA.GN. Ary Dwipayana, Jeffrey Robinson, H.S. Nordholt dan penulis-penulis lain yang melihat Bali dari situasi diluar mainstream.

Kedua, kontinyuitas pewacanaan akan kondisi Bali (sejarah dan kondisi kekinian) harus tetap terwarisi pada anggota baru yang baru bergabung dengan AKRAB. Disinilah kemudian diuji kemampuan AKRAB dalam memilih pola kaderisasi yang tepat untuk betul-betul menjadikan AKRAB sebagai organisasi Kader bagi mahasiswa Bali. (Pola penguatan organisasi AKRAB, akan dibahas dilain kesempatan).

Ketiga, Aktivis AKRAB setidaknya melakukan Silaturahim ke beberapa Tokoh penting di Bali, baik Tokoh Hindu ataupun Islam. Menjalin komunikasi dengan berbagai Tokoh ini selain mendapat informasi yang valid, juga untuk memudahkan agar ide atau gagasan AKRAB bisa tersalurkan dengan baik. Lebih dari itu, komunikasi Tokoh ini dapat menjadi penguat eksistensi AKRAB kedepan.

Keempat, adanya gerakan wacana yang bisa menandingan wacana yang bermotif SARA. Salah satu pilihan wacana yang tepat untuk dimassifkan adalah gerakan wacana BALI HARMONIS. Wacana Bali Harmonis ini harus disponsori oleh organisasi yang betul-betul komitmen dengan keberadaan social di Bali. Saat semuanya harus terdiam, kenapa tidak jika AKRAB menjadi pelopor dari gerakan social ini, walaupun masih sebatas gerakan wacana. Mempopulerkan Bali Harmonis ini bisa ditempuh dengan cara-cara yang kreatif dan menarik (contoh dengan Slogan : Ayo Jaga Bali Harmonis).

Kelima, AKRAB yang beranggotakan multi agama, bisa menjadi laboratorium dari manifestasi gerakan ini. Bertemunya anggota yang beda agama di AKRAB adalah satu-satunya moment yang paling penting untuk sharing pengalaman, sekaligus membangun komitmen keharmonisan ke depan. Sebab, 10 atau 15 tahun kedepan gernerasi muda lah yang akan menentukan keberagaman dan kebersamaan kehidupan social di Bali. Gunakan AKRAB sebagai lahan memupuk pohon keharmonisan Bali masa mendatang.

Ini hanyalah ide sederhana, yang memperdalam adalah teman-teman aktivis AKRAB yang saat ini sedang berproses. Sebagai salah satu dari sekian orang yang menggagas berdirinya AKRAB, menginginkan organisasi ini tetap menjadi wadah silaturahim dan “pengemblengan” bagi mahasiswa Bali di Malang. Bagi pengurus, rancanglah kegiatan AKRAB yang bermanfaat bagi anggota dan Bali. Berpikirlah bagaimana AKRAB akan ada untuk selamanya, bukan hanya untuk satu atau dua tahun.

Salam Gerakan dari sudut Bali.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline