Lihat ke Halaman Asli

Menengok Kembali Keberagamaan Kita

Diperbarui: 24 Juni 2015   08:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pendahuluan

Lewat esai singkat ini kami ingin menunjukkan bahwa kebanyakan umat Islam tidak menyadari bahwa sikap beragama mereka mengandung korupsi atas substansi ajaran agama itu sendiri. Lewat pengamatan atas informasi media, sirkulasi komunikasi masyarakat di social media (khususnya facebook dan twitter) serta diskusi dengan banyak teman dari beragam kalangan, tulisan singkat ini mengajukan tesis bahwa substansi agama sebagai pembawa pesan kedamaian dan persaudaraan telah dilupakan, digantikan oleh kesalahpahaman yang menganggap permusuhan dan pertikaian sebagai inti agama.

Berita di Media

Kami hidup di abad 21, abad dengan pencapaian modernitas yang membanggakan. Begitu pula kami sebagai bangsa Indonesia, hidup di masa terbaik dari pencapaian bangsa yang baru saja berulang tahun ke 68. Era kami era reformasi, menandai apresiasi tinggi atas kebebasan dan tanggung jawab, masa ketika demokrasi menjadi ijma' masyarakat, dan kepercayaan penuh akan terpenuhinya harapan kesejahteraan bagi semua.
Akan tetapi, masih saja ada peperangan di masa modern kami ini. Inilah berita media paling menyedihkan bagi kami yang awam. Namun bagian ini tidak hendak mengungkapkan sangkaan konspirasi media, atau bahkan dugaan intervensi negara adikuasa atas pemberitaan. Bagi kami, sangkaan tidak ada gunanya bagi kebenaran. Yang menggusarkan kami adalah apakah masih layak pada era rasional begini, masih ada bagian dari keluarga besar umat manusia yang saling membunuh.
Peperangan dan terorisme yang hidup di era penuh cahaya ini pun tidak berhenti sampai di sana menggusarkan kami. Motif agama selalu disebutkan, meski hakikatnya konflik itu adalah perebutan kuasa saja. Bahkan, konflik menyedihkan itu terjadi di tengah-tengah masyarakat yang fanatik atas agama, bahkan mazhabnya. Fakta demikian mau tidak mau menimbulkan konklusi akan sebab konflik itu adalah ajaran agama.

Setiap hari, dari pengamatan kami, media massa cetak dan elektronik selalu menyebut sengketa di Timur Tengah yang menyedihkan itu terjadi antara penganut Sunni vs Syiah. Sederhananya, penganut mazhab Sunni akan menyalahkan Syiah dan menyesatkannya, begitu pula sebaliknya.
Di Social Media

Sementara itu, apa yang kami dapat dari sirkulasi komunikasi masyarakat di social media: facebook dan twitter. Dari perbincangan di dunia maya itu, seputar isu peperangan yang terjadi, mayoritas netizen menyuarakan pembelaan atas mazhab tertentu, dan menyesatkan atas mazhab lainnya. Mengatakan bahwa konflik di sana adalah konflik agama. Kemudian di-posting-lah bermacam argumen pertikaian sektarian, antara agama satu dengan lainnya, antara mazhab satu dengan lainnya. Akhirnya, dalam pertengkaran mematikan itu, agama dipercaya punya peran besar. Bahkan iman itu sampai kepada pembasmian atas mazhab yang dianggap sesat. Inilah bagian yang paling menyedihkan bagi kami. Tatkala umat ini sibuk menyebar propaganda kebencian, dengan dalil yang diambil dari kitab suci dan ucapan Nabi, sembari melalaikan perwujudan perdamaian bagi semua, dan melupakannya sebagai inti keberagamaan.
Masalah Pada Agama Itu Sendiri

Kami tak menyalahkan sikap beragama yang koruptif itu. Karena faktanya benih sengketa itu sendiri berada dalam agama. Mengutip intelektual asal Aljazair, Mohamed Arkoun (Masduqi: 2011), bahwa dalam tradisi agama itulah, yang diwarisi dari generasi ke generasi, terdapat ajaran bahkan dogma eksklusifitas dan sengketa.Inilah yang terjadi pada Islam dan tradisinya. Sejatinya, Islam yang pada mulanya adalah komunitas penegak keadilan dengan keimanan yang menjulang pada Tuhan dan hari akhir, berevolusi menjadi komunitas eksklusif, dengan serangkaian struktur yang terbagi-bagi dalam beragam mazhab dan sekte. Evolusi itu sendiri adalah akibat perbedaan pendapat yang tak mungkin dielakkan lagi, namun kemudian menjadi sengketa karena masing-masing kelompok merasa klaim kebenaran berada pada sisinya saja (kullu hizbin bima ladayhim farihun).
Namun kami sependapat dengan ilmuwan besar Inggris, Karen Armstrong, bahwa compassion atau belas kasihlah yang merupakan substansi agama, dan segala pemahaman yang menyeru pada kekerasan sejatinya bukan pesan agama. Ya, dogma sengketa dan permusuhan itu sebatas tafsiran saja, bukan substansi ajaran Tuhan dan para Nabi yang mulia.
Kembali Demi Kemajuan

Inilah bagian kesimpulan kami. Bagian yang menyerukan perlunya upaya peninjauan ulang dan kontemplatif akan sikap beragama kita. Bahwa kita perlu kembali pada pesan substansi agama yang menyerukan belas kasih bagi semua manusia, menimbang ulang ajaran sengketa dalam agama, kalau perlu dengan berani menolaknya. Bukankah dalam Islam, Nabi adalah sosok yang penyayang, bahkan pada orang yang memusuhinya, bukan musuhnya, karena beliau tak pernah memiliki musuh. Dan perlu dilakukan dekonstruksi atas pemahaman tradisional dari Islam yang mengotak-kotakkan umatnya dalam sekte-sekte dan mazhab-mazhab. Dan perlunya mengikat diri dalam common word bahwa iman kita adalah iman yang menyelamatkan, tidak menyesatkan dan mendiskreditkan. Kita kembali pada substansi agama adalah semata-mata demi kemajuan kita sendiri. Semakin lama umat ini terselimuti dalam sengketa, semakin tertinggal mereka dalam peradabannya. Pesan Tuhan adalah menjadikan kita khalifah di muka Bumi, yakni makhluk-Nya yang mampu mendirikan peradaban. Bukan sebagaimana yang dikhawatirkan Malaikat pada awal penciptaan, bahwa kita adalah makhluk yang suka menumpahkan darah sesama.
Wallahu a'lamu bish Shawab

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline