* Menko Perekonomian berseberangan dengan Menteri Susi
Oleh Ibnu Purna
Sungguh tepat kalau ada yang memberi gelar kepada Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti sebagai menteri kontroversial, yang pernyataannya sering menimbulkan pro-kontra. Kali ini Menteri Susi membuat pernyataan yang mengagetkan, dia mengusulkan agar Indonesia keluar dari keanggotaan G20 atau negara-negara dengan perekonomian terbesar di dunia, khususnya di sektor perikanan. Padahal Presiden Jokowi direncanakan akan menghadiri pertemuan G20 di Australia. Alasan mendasar, mengapa Susi ingin Indonesia keluar dari G20, karena kita dikenakan tarif impor negara tujuan ekspor kita. Contoh ekspor Bigeye Tuna Indonesia ke Uni Eropa, yang dikenakan tarif impor 14,5%. Sementara Timor-timur, Srilanka, hingga Ekuador bebas bea masuk.
Pengenaan Uni Eropa atas tarif bea masuk tinggi 20,5% juga dikenakan pada produk ikan kaleng tuna Indonesia. Hal yang sama juga terjadi pada udang, di mana tarif bea masuk yang dikenakan Uni Eropa atas udang beku Indonesia mencapai 7%, sementara negara Timor-timur, Srilanka, hingga Ekuador bebas bea masuk. Menurut Susi, Indonesia kehilangan 14 persen bea masuk tuna dari potensi USD700 juta perdagangan tuna di G20. Kerugian kita sekitar USD100 juta. Simak http://m.metrotvnews.com/read/2014/11/11/317219/kehilangan-usd100-juta-susi-minta-indonesia-keluar-dari-g20
Namun, Menteri Koordinator Perekonomian, Sofyan DjalNil, menolak usul itu.
Alasannya, dengan menjadi anggota G20, adalah suatu kehormatan bagi bangsa Indonesia. "Kita diakui sebagai ekonomi besar dunia dan itu membuat Indonesia turut mengarahkan dunia ke depan, stablilitas keuangan dan lain-lainnya,"kata Sofyan. Meskipun demikian, Sofyan mengaku paham atas kegelisahan Susi. Di mana, dengan masuknya Indonesia menjadi nggota G20, negara terkena pajak ekspor 15 persen. Tetapi, kata dia, hal itu sebenarnya bisa diselesaikan dengan komunikasi bilateral. Simak http://nasional.news.viva.co.id/news/read/559113-soal-g20--menko-sofyan-berseberangan-dengan-menteri-susi
Sebelumnya, merasa gerah dengan pernyataan menteri Susi, Wapres Jusuf Kalla segera menyanggahnya. Menurut Wapres, masuknya Indonesia di forum Government 20 (G-20) tentu membawa keuntungan tersendiri. Dalam forum G-20, menurut JK, selalu ada konsultasi mengenai strategi memajukan ekonomi dalam negeri maupun perekonomian internasional. Simak http://nasional.kompas.com/read/2014/11/14/19211301/Sanggah.Menteri.Susi.Wapres.Jusuf.Kalla.Nilai.Masuk.G-20.Justru.Menguntungkan?utm_source=news&utm_medium=mobile&utm_campaign=related&
Presiden Joko Widodo pun akhirnya perlu menjelaskan bahwa G20 bukanlah organisasi yang memiliki kekuatan mengikat. Karena itu, masalah tarif atau bea masuk yang sering menyulitkan Indonesia dinilai sama sekali tidak dipengaruhi oleh keanggotaan Indonesia dalam G20, melainkan oleh World Trade Organization (WTO). Jadi G20 bukan forum yang mengikat.
Jokowi mengatakan dirinya masih mempertimbangkan usul itu dan mempelajari potensi kerugian yang disampaikan Susi. Menurut Presiden, ikut juga belum, mau disuruh keluar.
Pernyataaan Susi diatas yang banyak di muat di media, menjadi menarik karena Presiden dan Wapres nampaknya terpaksa harus menjelaskan di media pula, apa manfaat dan mengapa Presiden Jokowi perlu menghadiri pertemuan G20 pada tanggal 15 November 2014 di Brisbane, Australia yang memang sudah diagendakan.
Tulisan ini tidak bermaksud membahas substansi dari pernyataan Menteri Susi. Namun yang justru menarik adalah cara dan mekanisme menteri Susi menyampaikan usulnya yang tersebar melalui media massa. Bahkan sebagai tindak lanjutnya, dia akan menyurati Sekretariat Negara yang selanjutnya surat tersebut akan diteruskan kepada Presiden Jokowi untuk keluar dari G20. Padahal, sebagaimana diketahui, bahwa setiap kabinet pasti ada mekanisme manejemennya yang dikomandani langsung oleh Presiden. Rasanya kurang elok, kalau Presiden terpaksa menanggapi pernyataan menteri Susi melalui media agar tidak mengganggu kehadirannya di pertemuan G20 di Brisbane, Australia, terutama dalam konteks hubungan internasional dengan negara-negara lain. Bagaimanapun juga Presiden Jokowi sudah diagendakan untuk hadir pertamakalinya dalam acara G20. Jadi tidak mungkin bagi Presiden Jokowi kalau ujug-ujug menyatakan imgin keluar dari G20 tanpa pembahasan yang matang dengan para pembantunya, termasuk dengan segala konsekuensinya.
Kembali kepada menteri Susi, adalah langkah yang bijak apabila usulannya yang penting ini tidak perlu disampaikan terlebih dahulu kepada media, namun mekanismenya hendaknya disampaikan dulu di internal kabinet. Menteri Susi dapat memyampaikan permasalahan G20 tersebut, khususnya dibidang perikanan, kepada Menko Perekonomian dan Menko Kemaritiman untuk dibahas bersama menteri terkait. Selanjutnya para Menko dapat melakukan rapat koordinasi dengan mengundang kementerian terkait, seperti Menteri Keuangan, Menteri Luar Negeri, Menteri Perdagangan, dan menteri/ kepala lembaga lainnya. Selanjutnya dari hasil rapat Koordinasi Menko, apabila memang dianggap perlu dan mendesak, maka Menko Perekonomian atau Menko Kemaritiman dapat mengusulkan kepada Presiden, melalui Sekretaris Kabinet, untuk mengagendakan Sidang Kabinet membahas usulan menteri Susi. Dalam Sidang Kabinet itulah Presiden akan memberikan arahan atas usulan Menteri Kelautan dan Perikanan, apakah Indonesia perlu keluar atau tidak dari G20. Mekanisme pengambilan kebijakan ini nampaknya perlu dibakukan kembali sebagai pedoman para menteri dalam menyampaikan usulan kebijakan, apalagi kalau kebijakan tersebut terkait dengan kepentingan sejumlah kementerian yang akan berdampak luas pada hubungan internasional dan kesejahteraan luas rakyat Indonesia (Artikel lain, simak ibnupurna.id)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H