Sumber foto: Istimewa, illustrasi karikatur korupsi di Indonesia.
Kita patut apresiasi dengan tim yang telah dibentuk di Kejaksaan Agung (Kejagung) bernama Satgas Khusus Penanganan dan Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Korupsi atau disingkat P3TPK. Tim tersebut beranggotakan 100 orang jaksa yang kerjanya hanya fokus memberantas korupsi, baik di pusat maupun daerah-daerah. Jadi mereka akan bekerja fokus memberantas korupsi dan terjun sampai ke Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri. Tim ini berada dibawah koordinasi Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus atau Jampidsus yang saat ini dipimpin oleh Widyo Pramono.
Di Koran Rakyat Merdeka (9/1/2015) Jaksa Agung Prasetyo mengakui bahwa citra Kejagung akhir-akhir ini kurang baik di mata masyarakat. Masyarakat lebih memuji KPK dalam hal penanganan korupsi. Oleh karena itu Prasetyo berharap, pembentukan Satgas bisa meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap Kejagung. Kejujuran Jaksa Agung Prasetyo mengakui kekurangan institusinya patut kita angkat jempol. Memang kinerja Kejagung masih jauh tertinggal dibandingkan KPK.
Lalu pertanyaannya, bisakah pembentukan tim satgas ini mempercepat langkanya untuk mengejar larinya KPK. Tentu saja ini masih menimbulkan pertanyaan. Masalahnya, sejauh mana Jaksa Agung di Indonesia bisa independen dari kebijakan pemerintah. Karena secara konstitusi Kejaksaan Agung adalah bagian dari pemerintah atau eksekutif. Sesuai Pasal 19, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Jaksa Agung adalah pejabat negara yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Kedudukannya, meskipun bukan anggota Kabinet, tapi disamakan setingkat menteri sehingga Jaksa Agung juga ikut hadir dalam sidang-sidang kabinet yang dipimpin Presiden atau Wapres. Kesehari-hariannya, Jaksa Agung berada dalam koordinasi Menko Polhukam.
Dengan demikian secara konstitusi, jelas Kejaksaan Agung merupakan bagian dari pemerintahan atau eksekutif. Beda dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dimana para pimpinannya diseleksi secara transparan oleh Panitia yang dibentuk pemerintah, namun anggotanya melibatkan akademisi dan non pemerintah. Selanjutnya pimpinan KPK diseleksi dan disetujui oleh DPR. Dengan demikian tak heran kalau KPK bisa bebas dari intervensi pemerintah maupun legislatif, sehingga sejumlah menteri, Kepala Daerah dan anggota DPR ada yang ditahan karena tuduhan korupsi. Bahkan seorang Wapres bisa dihadirkan sebagai saksi di Pengadilan dalam mengadili perkara yang ditangani oleh KPK. Apakah independensi semacam ini bisa terjadi pada Kejaksaan Agung? Padahal indepedensi ini sangat dibutuhkan agar Kejagunh dapat memeriksa tersangka koruptor tanpa ada intervensi dari pemerintah.
Pertanyaan lain, tantangannya berada di internal Kejagung sendiri. Biasanya tim yang bersifat adhoc di lembaga pemerintah seperti tim satgas diatas larinya hanya sesaat saja. Apalagi kalau di lembaga Kejagung juga sudah ada unit yang tugas dan fungsinya memberantas korupsi yaitu Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Korupsi. Dikhawatirkan dalam perjalanannya akan terjadi tumpang tindih wewenang antara Tim Satgas dengan Jampidsus.
Sementara itu, mantan Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung, Chaerul Imam, berpendapat bahwa gaji jaksa masih kecil. Oleh karena itu, Chaerul tidak menyetujui apabila jaksa diberikan wewenang untuk menyadap seperti halnya wewenang yang dimiliki KPK. "Besar kemungkinan penyadapan yang dilakukan justru berpotensi disalahgunakan," ujar Chaerul Imam. Simak penyadapan jangan diberikan ke Jaksa http://politik.news.viva.co.id/news/read/115685-penyadapan_jangan_diberikan_ke_polisi___jaksa. Padahal Jaksa Agung Prasetyo ingin sekali agar wewenang penyadapan juga diberikan kepada Kejaksaan Agung. Simak Jaksa Prasetyo Ingin Kewenangan Menyadap http://www.tempo.co/read/news/2014/11/24/063624140/Jaksa-Prasetyo-Ingin-Kewenangan-Menyadap-
Tentunya masih banyak tantangan lain yang dihadapi oleh Kejaksaan Agung untuk meningkatkan kinerjanya dalam hal pemberantasan korupsi di Indonesia. Ada kiasan kalau kita ingin menyapu, maka sapunya harus bersih terlebih dahulu. Kalau sapunya kotor, maka lantai yang disapu tetap kotor, bahkan bisa semakin kotor. Artinya para jaksa anggota Tim Satgas 100 tersebut harus bersih terlebih dahulu dari tindakan korupsi. Paling tidak mental jaksa tersebut akan selalu menolak apabila ada tersangka koruptor yang berniat menyuapnya. Tentunya ini merupakan tantangan yang terberat, karena berhadapan dengan dirinya sendiri untuk tidak korupsi.
Namun bagaimanapun juga, kita harus mendukung langkah Jaksa Agung Prasetyo agar korupsi dapat berkurang secara drastis supaya Indonesia tidak mendapat gelar "negara koruptor". Tulisan ini minimal mengingatkan Jaksa Agung dan jajarannya agar jangan bekerja ibarat pepatah "hangat-hangat tahi ayam". Hanya sebentar lari kencang, tersengal-sengal, lalu istirahat panjang dan tidur nyenyak. Semoga pepatah ini tidak terjadi. (Artikel lain, simak ibnupurna.id)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H