Noda Politik Agama: Tragedi dan Tantangan dalam Kehidupan Modern
Oleh: Yanuar Arifin
Pengantar
Di tengah pesatnya perkembangan teknologi dan globalisasi, kita mungkin berharap bahwa kekerasan dan terorisme akan berkurang. Namun, tragedi kemanusiaan masih saja menghantui dunia. Dua contoh tragis terjadi pada akhir November 2008 di India dan Nigeria, mengingatkan kita bahwa konflik berdarah dengan latar belakang agama dan politik masih merupakan ancaman nyata bagi perdamaian dunia. Tulisan ini akan membahas bagaimana politisasi agama dan konflik berlatar belakang agama terus menjadi masalah serius, serta bagaimana kita bisa menghadapi tantangan ini dengan lebih bijak.
Tragedi Mumbai dan Plateau: Latar Belakang dan Dampaknya
Pada 26 November 2008, Mumbai, kota terbesar di India, mengalami serangan teroris yang berlangsung selama tiga hari. Serangan di berbagai lokasi termasuk hotel Taj Mahal Palace, Stasiun Kereta Chhatrapati Shivaji Maharaj, dan pusat komunitas Yahudi Nariman House menewaskan 195 orang dan melukai 295 lainnya. Di saat yang sama, di Negara Bagian Plateau, Nigeria, terjadi bentrokan mematikan antara komunitas Muslim dan Kristen yang menewaskan setidaknya 400 orang dan menyebabkan 7000 orang mengungsi.
Di India, kelompok teroris Lashkar-e-Taiba (LeT), yang berbasis di Pakistan, diduga kuat berada di balik serangan tersebut. Motif mereka adalah memperkeruh hubungan antara India dan Pakistan, serta menimbulkan ketakutan di antara komunitas Hindu dan Muslim di India. Sementara itu, di Nigeria, bentrokan dipicu oleh hasil pemilu lokal yang kontroversial di Jos, ibukota Plateau, yang menambah ketegangan antara dua partai dengan basis agama berbeda. Persaingan politik ini memperkeruh hubungan antara komunitas Muslim dan Kristen.
Tafsir Kebencian: Akar Konflik Agama
Polarisasi agama sering kali didorong oleh tafsir kebencian yang disebarluaskan oleh pihak-pihak tertentu untuk mencapai tujuan politik atau ideologis. Tafsir kebencian ini merusak fondasi kerukunan dan memperkeruh hubungan antarumat beragama. Dalam banyak kasus, ajaran agama yang damai dan mengajarkan cinta kasih disalahartikan untuk mempromosikan agenda kebencian dan kekerasan.
Masdar Hilmy, seorang akademisi, menyatakan bahwa tafsir kebencian yang berakar dalam peradaban agama adalah salah satu penyebab utama dari berbagai tragedi kemanusiaan sepanjang sejarah. Tafsir yang menghasut kebencian ini mengabaikan esensi agama yang mengajarkan perdamaian, toleransi, dan penghargaan terhadap kehidupan manusia. Ketika tafsir semacam ini mendominasi, konflik dan kekerasan menjadi tak terhindarkan.
Politisasi Agama: Alat Kekuasaan yang Berbahaya
Politisasi agama adalah penggunaan agama untuk mencapai tujuan politik. Ini terjadi ketika agama diperalat untuk mendapatkan dukungan politik, menciptakan loyalitas, atau melegitimasi kekuasaan. Dalam proses ini, nilai-nilai agama sering kali terdistorsi dan digunakan untuk memicu konflik atau mempertahankan kekuasaan.
Contoh klasik dari politisasi agama adalah bagaimana kelompok-kelompok teroris menggunakan dalih agama untuk membenarkan tindakan kekerasan mereka. Mereka menafsirkan teks-teks agama dengan cara yang menyimpang untuk merekrut anggota baru dan memicu kebencian terhadap kelompok lain. Di Nigeria, persaingan politik antara partai-partai yang memiliki basis agama yang berbeda menunjukkan bagaimana agama digunakan untuk memperkuat klaim politik dan memicu konflik antar komunitas.
Fanatisme Agama: Ancaman terhadap Pluralitas
Fanatisme agama terjadi ketika keyakinan agama dipegang dengan cara yang kaku dan ekstrem, tanpa ruang untuk dialog atau pemahaman terhadap keyakinan lain. Fanatisme ini sering kali dikobarkan oleh pemimpin yang memiliki kepentingan politik atau ideologis, dan mengarah pada konflik yang merusak.