Lihat ke Halaman Asli

Anggi Azzuhri

Islamic Studies Research Fellow and Freelance Writer

Posibilitas Terjemah Al Quran: Apakah Mungkin Al Quran Diterjemahkan?

Diperbarui: 4 November 2020   20:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Persoalan kebolehan dan posibilitas menterjemahkan Al-Qur'an pada dasarnya bukanlah hal baru. Sejak masa Rasulullah SAW, menyampaikan isi Al-Qur'an dengan bahasa selain bahasa Arab sudah menjadi sebuah pertanyaan besar yang tidak punya jawaban otoratif dari Rasulullah SAW. Satu-satunya Hadits berkaitan dengan terjemah Al-Qur'an bersifat mursal dimana Rasulullah sendiri tidak berucap apapun pada Hadits itu. 

Riwayat tersebut disebutkan oleh Ibn Katsir dalam kitab sejarah Al-bidayah wa an-Nihayah, riwayat ini seputar percakapan antara Ja'far bin Abi thalib dan Malik Najasyi Al Habasyi (radhiyallahu 'anhum) ketika Ja'far membacakan surah Maryam kepada Najasy. Tentunya terjadi proses terjemah dalam percakapan antara mereka. 

Riwayat lainnya dicatat oleh Imam An-Nawawi dalam Majmu' syarah al-Muhadzzabketika Salman Al-Farisi diminta oleh sebagian kaum untuk menyampaikan surah Al-Fatihah dalam bahasa Persia, dan Salman Al-Farisi menuliskannya, namun soal lengkap atau tidaknya masih spekulatif. Abul Qasim Az-Zarqani juga menyebutkan hal ini dalam Manahilul 'Irfan begitu pula Al-Alusi dalam Tafsirnya.

Abu Hanifah membolehkan membaca Al-Qur'an dalam shalat dengan selain bahasa Arab sebagai rukhsah. Perlu dicatat disini, ketentuan yang diberikan Imam Hanafi adalah sebuah rukhsah sehingga tidak bisa dijustifikasikan bahwa perbuatan ini legal dilakukan pada kondisi selain shalat.

Diskusi soal kebolehan bahkan kemungkinan untuk menterjemahkan Al-Qur'an tetap berlangsung hingga hari ini. Semuanya bermuara pada posibilitas mengalihkan bahasa suatu ungkapan tanpa mengubah esensi pemahaman yang diinginkan si pembicara/penulis, dan status Bahasa Arab yang digunakan oleh Al-Qur'an. Perlu diingat, bahwa Nash Al-Qur'an punya karakteristik linguistik yang berbeda dari bahasa Arab biasa. Jika bahasa Arab non-Quran terkesan sulit diterjemahkan secara utuh ke bahasa lain, apalagi Al-Qur'an sendiri. 

Abul Qasim Az-Zarqani, Syaikhul Islam Mustafa Sabri, Toshihiko Izutsu dan Fazlur Rahman memandang Al-Qur'an itu tidak bisa diterjemahkan karena hasil terjemahan akan kehilangan beberapa makna yang dikandung oleh teks asli, dan memahami makna itu hanya bisa diperoleh dengan menggunakan bahasa Arab. 

Sebaliknya, Sheikh Mustafa Maraghi, Hussein Abdoul Raof dan Mohammad Abdel Haleem menyatakan Al-Qur'an mungkin diterjemahkan, tetapi secara ma'nawi bukan lafzhi. Selayang pandang mereka semua --bahkan saya meyakini seluruh ulama-- menganggap bahwa Al-Qur'an hanya bisa dipahami secara sempurna dengan bahasa Arab, mengalihkannya ke bahasa lain akan menyebabkan hilangnya makna-makna krusial. Mereka hanya berbeda detail kecil (akan dijelaskan selanjutnya).

Sebelum itu, apa itu terjemah?

Terjemah bisa dipahami sebagai usaha pengalihan bahasa dengan tujuan teks terjemahan punya kualitas yang sama dengan teks asli dari segi semantik, struktur, style, dan makna(Eugene Nida) atau kualitas yang mendekati teks asli (Basil Hatem). Disini terdapat dua perbedaan yang sangat berpengaruh. Kualitas yang sama dengan teks asli, bermakna bahwa teks terjemahan bisa menggeser teks asli dari segi otoritas. Dengan kata lain Al-Qur'an terjemahan bisa menggeser Al-Qur'an asli sebagai sumber utama ajaran Islam, tentu saja hal ini berefek fatal. 

Lagipun, misi memproduksi teks terjemahan yang selevel dengan teks asli itu adalah mission impossible. Sebagai contoh, it's tipping down adalah sebuah ungkapan yang lazim digunakan oleh Londoners ketika hujan yang sangat lebat terjadi secara tiba-tiba. Ketika dialih bahasakan ke bahasa Indonesia, ungkapan ini menjadi "Hari ini sedang tumpah". Tanpa perlu saya jelaskan, pendengar pasti sudah tau kerancuan ungkapan ini, plus lagi orang Indonesia belum pernah mengalami kejadian serupa (atau sangat jarang).

Kondisinya akan lebih terlihat mustahil jika berkaitan dengan perpindahan dari Bahasa Arab ke Bahasa Indonesia. Al-Qur'an menggunakan kata الغيث dan المطر untuk merujuk pada fenomena alam ketika sesuatu turun dari langit. Tetapi, Ghaits selalu digunakan pada kondisi positif sehingga dimaknai hujan yang berisi ni'mah. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline