Akhir-akhir ini tidak sedikit kelompok masyarakat menyoroti agenda Pemerintah Pusat dan DPR RI yang hendak mengesahkan RKUHP dalam beberapa bulan ke depan. Agenda yang sama juga sudah terjadi di tahun 2019, tapi kandas karena penolakan besar-besaran dari masyarakat. Banyaknya pasal kontroversi dan tidak pro rakyat dalam RKUHP tersebut dinilai mengancam kebebasan masyarakat dalam berdemokrasi.
Gelagat pemangku kebijakan tersebut terkesan bermain mata untuk satu misi yang sama yaitu mempercepat pengesahan RKUHP. Mereka sedang kucing-kucingan, intip-intipan, bermain petak umpat dengan rakyat. Hal itu dibuktikan dengan rencana pembahasan yang tidak melibatkan partisipasi masyarakat, alias tertutup. Bahkan, jika rakyat tidak melakukan desakan tuntutan untuk menyebarkan Draft RKUHP, maka draft itu tidak bisa dibaca oleh masyarakat luas.
Keterlibatan masyarakat yang seharusnya ada telah dinihilkan dengan begitu saja. Jika pun ada kelompok masyarakat yang dilibatkan, itu adalah kelompok masyarakat yang sudah "dicuci" pikirannya atau karena sesuatu iming-iming sehingga menyetujuinya dengan diam-diam. Tidak berlebihan jika kita mengatakan partisipasi masyarakat dalam proses legislasi dijadikan seperti hantu-hantu bergentayangan.
Patut kita bertanya, di mana lagi makna aplikatif demokrasi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat itu? Apakah hukum, dalam hal ini Undang-undang (UU) akan dijadikan alat untuk membunuh demokrasi rakyat yang kemudian melindungi pejabat negara? Bagaimana demokrasi dibunuh dengan menjadikan hukum sebagai alatnya? Dan jenis hukum seperti apa yang sedang dipersiapkan oleh mereka
Tentang Matinya Demokrasi
Mengenai nasib negara demokrasi, seperti negara kita saat ini. Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam buku How Democracies Die (versi terjemahan: Bagaimana Demokrasi Mati) menyoroti negara-negara demokrasi yang demokrasinya sedang terancam, sedang dalam bahaya. Kedua penulis menyoroti negaranya, Amerika Serikat, dan beberapa negara-negara yang menganut sistem demokrasi, tapi perlahan demokrasinya mulai mati, seperti negara Hungaria, Turki, Polandia, Venezuela, Argentina, Mesir, Brazil, dan negara-negara yang menganut sistem demokrasi lainnya serta tidak menutup kemungkinan Indonesia saat ini. Amerika Serikat yang begitu dewasa dalam berdemokrasi ternyata mengalami erosi demokrasi di masa Presiden Donald Trump.
Levitsky dan Ziblatt menjelaskan bahwa kematian demokrasi di era kontemporer tidak lagi seperti di mana seseorang melakukan kudeta atau mengambil alih kekuasaan dengan paksa, tidak lagi dihancurkan oleh pemberlakuan sistem komunis dan fasisme. Akan tetapi kematian demokrasi itu dibunuh oleh penguasa yang lahir dari sistem demokrasi itu sendiri. Ia dengan perlahan meracuni demokrasi hingga mati. Penguasa yang lahir dari demokrasi menggerogoti sistem demokrasi bak kanker dalam tubuh manusia.
Apa yang penguasa lakukan untuk membunuh demokrasi? Yang mereka lakukan adalah perbuatan mengintimidasi pers yang seharusnya bebas merdeka; mengancam dan/atau memenjarakan setiap orang yang mengkritisi pemerintah dengan berbagai delik pidana; melemahkan kelembagaan pelindung demokrasi; melemahkan pengadilan; dan yang paling parah adalah membentuk hukum yang melindungi pejabat negara, kemudian mengancam kebebasan masyarakat. Dalam hal ini mulai menggeser UU yang seharusnya melindungi kepentingan rakyat banyak, menjadi UU yang menindas rakyat, kemudian melindungi harkat dan jabatan mereka.
"Banyak upaya pemerintah membajak demokrasi itu "legal" dalam arti disetujui lembaga legislatif atau diterima lembaga yudikatif," tegas Levitsky dan Ziblatt.
Hukum Sebagai Alat