Lihat ke Halaman Asli

Ibnu Aghniya

Penikmat Sejarah

Penyakit Kronis Muslimin Indonesia

Diperbarui: 31 Maret 2020   16:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Singkirkan dulu fakta tentang kemiskinan, kelemahan, dan keterbelakangan sebagai penyakit utama yang mendera kaum Muslim Indonesia. 

Beberapa fakta tersebut hanyalah ekses negatif dari penyakit kronis yang sesungguhnya. Sebuah penyakit yang bukan saja merusak secara fisik-materiil, tapi juga melemahkan kepercayaan diri muslimin Indonesia sebagai kekuatan potensial untuk memainkan peranan vital di kancah dunia.

Penyakit itu adalah fenomena bernama minderewaardigheids-complex atau lazim dikenal sebagai perasaan inferior. Sekian lama hidup dalam alam penjajahan Barat, rupa-rupanya bukan saja membikin muslimin Nusantara diperas habis apa yang dimilikinya. Tetapi juga diwarisi mentalitas sebagai inlander yang hanya bisa mengekor dan mengamini apapun yang datang dari Barat.

Belum keren rasanya jika belum mengikuti gaya hidup atau bahkan mode terbaru yang dijajakan oleh peradaban Barat. Sedangkan hal-hal yang pada hakikatnya adalah jati diri seorang muslim, dianggap usang dan ketinggalan jaman, yang bisa membuat malu bila menerapkannya apalagi menunjukkannya.

Prinsip isyhadu bi ana muslimuun yang seyogyanya dipegang seorang muslim, tercerabut secara kasar untuk diganti dengan slogan "isyhadu bi ana modern".

Ternyata mentalitas inlander yang selalu merasa inferior itu bukan saja tercermin pada fenomena hari ini. Jauh sejak negeri ini masih hidup di bawah telapak kaki Belanda, sikap inferior itu sudah melekat kuat dalam diri masyarakat pribumi pada umumnya dan kaum muslim Hindia pada khususnya.

Sering kita jumpai dalam foto-foto era kolonial baik yang dipublikasikan oleh Kerajaan Belanda maupun Indonesia, betapa masyarakat kita begitu merasa inferiornya pada tuan-tuan Belanda. 

Paling sederhana, hal itu dapat dilihat dari bahasa tubuh seorang pribumi bila berhadapan dengan seorang Belanda misalnya. Bagaimana si pribumi yang berjongkok tidak berani menatap langsung pada "tuannya" tersebut.

Mengenai sikap inferior ini, Haji Agus Salim memberi contoh lebih lugas, yang bisa dilihat dalam majalah Het Licht terbitan tahun 1925. Menurut Haji Agus Salim, rasa rendah diri masyarakat pribumi bukan semata diidap oleh kalangan jelata saja, tapi bahkan juga kalangan intelektualnya. 

Ketika orang-orang Belanda mengatakan pakaian pribumi adalah "pakaiannya para jongos" dan memperkenalkan celana panjang serta jas sebagai "pakaian berperadaban tinggi", dengan latah kalangan intelektual kita ketika itu langsung menggunakan setelan Eropa yang dianggap "terhormat". 

Tapi kemudian ketika pihak Barat memuji beskap dan surjan Jawa sebagai "busana nasional yang indah-rapi", mode berpakaian pun ikut berubah. Banyak orang yang memakai kembali "pakaian nasional" tersebut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline