M.C. Ricklefs di dalam bukunya berjudul Sejarah Indonesia Modern, mengidentifikasi bahwa terdapat 3 arus utama pemikiran yang melandasi semangat pergerakan nasional.
Nasionalisme, Komunisme, dan Islam adalah ketiga pemikiran arus utama tersebut. Dalam lembaran sejarah, ketiga ideologi tersebut pernah menunjukkan hubungan pasang-surut yang ditandai oleh berbagai peristiwa.
Komunisme dan Islam pertama-tama muncul dalam arena pergerakan nasional dengan prahara didalam Sarekat Islam (SI) yang menjadi ajang rivalitas keduanya. Kemunculan Sarekat Rakyat dan Perserikatan Komunis di Hindia tak dapat dilepaskan dari perpecahan didalam tubuh SI.
Tan Malaka, Semaoen, Alimin, dan kawan-kawan "lahir" dari situasi yang demikian. Mereka jadi pribumi yang mula-mula menyalakan suluh Komunisme di Indonesia. Sedangkan Haji Agus Salim, Mohammad Natsir, dan lain sebagainya, merupakan produk murni ideologi Islam pra-kemerdekaan.
Adapun Nasionalisme baru secara terang-terangan menampakkan sepak terjangnya kala Sukarno bersama PNI-nya vokal mempropagandakan gagasan "ibu pertiwi Indonesia". Ditambah kiprah Hatta, Sjahrir, dan kawan-kawan Perhimpoenan Indonesia di Negeri Belanda yang juga berfaham Nasionalisme, semakin mempopulerkan gagasan Indonesia sebagai kesatuan bangsa.
Tentu orang-orang besar yang mewakili ketiga ideologi utama semasa pergerakan tersebut bukan lalu begitu saja dalam guratan sejarah. Mereka meninggalkan pusaka berupa karya-karya yang ditujukan untuk memengaruhi massa sekaligus menyerang praktik kolonialisme.
Nasionalisme patut berbangga sebab memiliki kader hebat sekaliber Sukarno dan Hatta yang kelak menjadi Proklamator negeri ini. Risalah Mencapai Indonesia Merdeka, Surat-surat dari Ende, dan beberapa lainnya, adalah warisan Sukarno semasa pergerakan yang menarik untuk dianalisis. Sebagai seorang nasionalis tulen, Sukarno didalam karya-karyanya selalu mengangkat tema utama berkenaan dengan gagasan kebangsaan, tanah air, dan kesatuan nasional.
Ditambah dengan racikan ideologi Marhaenisme ciptaannya, membuat tulisan-tulisannya kian berwarna. Pendapat Wawan Tunggul Alam di dalam bukunya Demi Bangsaku Pertentangan Sukarno vs Hatta yang menyatakan bahwa keunggulan Sukarno adalah kemampuannya dalam menerjemahkan gagasan-gagasan rumit ke dalam bahasa sederhana dan mudah dipahami banyak orang, nampaknya memang benar adanya.
Sulit sekali mencari tulisan-tulisan Sukarno yang tak dibumbui metafor-metafor. Bahkan, tak jarang sisipan-sisipan jenaka kerap pula dijumpai. Berkat keunggulannya tersebut, tak heran bila sosok yang satu ini berhasil menjadi tokoh terpopuler di negeri ini sekaligus pula mengangkat paham yang diusungnya menjadi yang terdepan diantara 2 ideologi lain.
Lain Sukarno, lain pula Hatta. Meski sama-sama berideologikan paham Nasionalisme, keduanya memiliki corak dan kekhasan tulisan yang berbeda. 3 jilid memoarnya yang diberi judul Untuk Negeriku, brosur Demokrasi Kita yang terbit pada masa Demokrasi Terpimpin, dan karya-karya lain, menyiratkan bahwa putra kelahiran Bukittinggi 12 Agustus 1902 ini adalah orang yang serius sekaligus kaku.
Gaya bahasanya yang lugas dan to the point boleh jadi dipengaruhi sikap dan pendidikan Barat yang lugas. Selain memang Bung Hatta dikenal sebagai seorang yang zakelijk dan amat disiplin (terbukti dengan banyaknya keterangan tanggal, bulan, tahun, bahkan jam untuk menunjukkan suatu peristiwa), turut membentuk corak tulisannya.