Lihat ke Halaman Asli

Ibnu Mustopo Jati

Mahasiswa S1 Prodi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Universitas Negeri Jakarta

Kearifan Lokal Sebagai Perwujudan dalam Menjaga Harmonisasi Hubungan Antaretnis

Diperbarui: 17 Juni 2022   14:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Indonesia merupakan negara yang majemuk atau multikultural, yang mana kemajemukan itu ada yang horizontal dan vertikal Kemajemukan horizontal berkaitan erat dengan kondisi kesatuan sosial yang mengacu pada perbedaan agama, ras, suku, adat-istiadat, maupun budaya. Sedangkan kemajemukan vertikal mengacu pada kondisi struktur dari masyarakat yang mengacu pada kondisi ekonomi, politis, tingkat pendidikan, dan lain sebagainya. Kemajemukan Indonesia yang berasal dari kesatuan sosial maupun struktur masyarakat tidak bisa dihindari dan dihegemoni oleh siapapun. Terlepas dari hal itu, kemajemukan yang ada bisa menimbulkan suatu masalah bagi Indonesia. Masalah ini kebanyakan mengenai konflik etnis dan agama. Tentu saja konflik bukanlah hal yang baru, sebab setiap manusia dari berbagai negara, termasuk Indonesia hidup saling berdampingan dan bergantung dengan manusia lainnya.

Munculnya konflik bisa terjadi akibat marginalisasi ekonomi ataupun kesalahpahaman mengartikan budaya dari suatu etnis kelompok masyarakat. Seperti yang pernah terjadi di Bengkayang, konflik antaretnis suku Dayak dengan suku Madura terjadi akibat dominasi suku Madura dalam hal ekonomi dan kesalahpahaman budaya (Pamungkas, 2018). Alhasil mengakibatkan suku Madura diusir dan ditolak masuk ke Kalimantan selamanya. Selanjutnya, konflik agama bisa pula menimbulkan konflik antaretnis yang semuanya berawal dari hanya satu etnis saja yang berkonflik. 

Seperti tahun 1998-2000 terjadi konflik besar di Maluku, yakni kelompok beragama Islam dan kelompok beragama Kristen yang pada akhirnya meluas menjadi konflik antaretnis, antara kelompok masyarakat Ambon dengan kelompok masyarakat Bugis, Buton, dan Makassar. Alhasil menimbulkan kecurigaan terhadap etnis maupun agama tertentu yang ada di Maluku dan pada akhirnya membentuk polarisasi di masyarakat (Harahap, 2018: 42--43), (Safi, 2017). Polarisasi inilah yang menjadikan masyarakat menjadi sulit untuk hidup harmonis di ruang yang sama. Namun, pada akhirnya konflik di Maluku berhasil diselesaikan dengan cara pendekatan budaya, yakni menghidupkan kembali kearifan lokal Pela Gandong di masyarakat Maluku.

Kearifan lokal menurut Wijaya, dkk (2021: 61) adalah perwujudan nilai-nilai karakteristik dari suatu masyarakat tertentu yang dibentuk melalui suatu kebiasaan dan pengetahuan yang secara turun temurun diwariskan. Senada dengan yang diutarakan oleh Sinapoy (2018: 519), kearifan lokal adalah suatu cara hidup seseorang atau komunitas masyarakat dalam memecahkan berbagai permasalahan kehidupan, baik dari lingkup ekonomi, lingkungan alam, sosial-budaya, politik, agama, pendidikan, dan lain sebagainya. 

Dari definisi tersebut bisa ditarik benah merah bahwa, kearifan lokal adalah pandangan hidup dari suatu kelompok masyarakat tertentu yang tercipta dari hasil proses adaptasi masyarakat dalam menyelesaikan segala permasalahan hidup yang diwujudkan ke dalam seperangkat hukum/aturan, pengetahuan, keterampilan, dan nilai serta etika yang mengatur tatanan sosial kehidupan bermasyarakat. Dengan kata lain, kearifan lokal adalah wujud kebudayaan yang diperoleh dari warisan sosial yang diperoleh individu dari kelompoknya.

Berkaitan dengan kearifan lokal, konflik yang pernah terjadi di Maluku bisa terselesaikan dengan pendekatan budaya, yakni kearifan lokal Pela Gandong. Kearifan lokal Pela Gandong adalah suatu ikatan persaudaraan antara dua negeri, dua desa, ataupun dua pulau dari lintas agama, budaya yang saling berkaitan dan berhubungan satu dengan lainnya serta saling melindungi. 

Dengan kata lain, kearifan lokal Pela Gandong adalah kebudayaan yang bertujuan untuk saling melindungi antar agama serta budaya yang berbeda. Dan menurut masyarakat Maluku apabila kebudayaan Pela itu dilanggar atau tidak dilaksanakan maka suatu desa tersebut akan terkena suatu musibah. Kearifan lokal Pela Gandong berhasil menghilangkan polarisasi pada masyarakat Maluku, sehingga hubungan antartenis dan agama di Maluku kini membaik dan kehidupan berjalan dengan harmonis.

Harmonisasi dalam hidup yang berbeda etnis kerap kali sulit untuk dilakukan, apalagi bila salah satu etnis tidak mengerti dan memahami tentang kebudayaan setempat. Namun berbeda dengan masyarakat di Pulau Enggano yang menjadikan keragaman sebagai suatu keunggulan meskipun pemerintah tidak memperhatikan masyarakat di pulau Enggano dan akses serta fasilias yang masih terbatas. Masyarakat di Pulau Enggano membuktikan bahwa perbedaan etnis dan agama bukanlah menjadi persoalan untuk dapat menjalani hidup bersama dengan damai di satu ruang yang sama.  Mereka sangat terbuka dengan masyarakat pendatang, bahkan menjadikan masyarakat pendatang dari etnis Jawa, Melayu, Bugis, Batak, Minang, dan lain sebagainya sebagai satu suku tersendiri yang disebut dengan suku Kamay (Sari, 2017: 145). Masyarakat asli Enggano memeluk agama Kristen, namun ketika pendatang masuk ke Pulau Enggano agama mayoritas berubah menjadi agama Islam. Meskipun demikian, harmonisasi antaretnis dan agama di Pulau Enggano masih tetap terjaga lantaran kedua masyarakat tersebut memegang teguh dan mematuhi hukum adat yang ada.

Hukum adat yang diwarisi oleh para leluhur masyarakat Enggano lebih mengedepankan sistem tolong menolong, norma-norma hukum adat, bentuk perkawinan adat, maupun sistem kekerabatan adat (Muslih dkk., 2021: 22). Sistem tolong menolong masyarakat Enggano dengan masyarakat pendatang diperlihatkan dari bagaimana masyarakat Enggano tidak membedakan etnis dan agama dalam membantu antar umat. Seperti halnya menyelesaikan permasalahan dengan melibatkan ketua-ketua adat, tokoh agama, maupun kepala suku dari suku pendatang. Selain itu, aktivitas saling menghadiri undangan apabila salah satu pihak merayakan hari besar. Dan membantu dalam pembuatan/perbaikan masjid ataupun gereja serta gotong royong dalam menggarap sawah pada saat musim panen. 

Semua itu tertuang dalam norma-norma hukum adat tertulis yang wajib dan dipatuhi oleh siapapun, apabila melanggar atau tidak melaksanakan hukum adat yang berlaku maka seseorang itu akan mendapatkan sanksi hukum adat. Dari hukum adat tersebut, masyarakat Enggano asli dan pendatang diikat untuk bisa hidup saling berdampingan dan menghindari segala konflik yang ada di masyarakat. Dengan demikian, kehidupan antaretnis dan agama di Pulau Enggano berjalan dengan harmonis tanpa adanya konflik yang bisa mencederai kondisi sosial masyarakat.

Dari studi kasus tentang masyarakat Enggano bisa ditarik kesimpulan bahwa, sesungguhnya kemajemukan suatu bangsa bukanlah menjadi persoalan untuk membangun relasi antaretnis terutama agama. Relasi antaretnis bisa berlangsung dengan harmonis apabila salah satu etnis bisa menghargai dan memahami budaya yang ada serta mengesampingkan ego pribadi atau kelompok. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline