Dua puluh juta kurang sedikit. Suratman baru saja selesai menghitung tabungannya dan memasukkan lembaran uang dalam berbagai pecahan itu ke dalam kaleng roti bekas. Kaleng itu kemudian dimasukkan ke dalam peti besi berkarat di bawah kolong tempat tidur.
Terbayang olehnya wajah Haryono, anaknya semata wayang yang sebulan lagi akan tamat SMA dan ingin melanjutkan kuliah kedokteran. Suratman tak ingin mengecewakan Haryono.
Ia tahu tabungannya masih kurang untuk mendukung cita-cita anaknya. Ia telah bertekad bekerja keras. Pagi jualan cendol seperti biasa, sorenya ia akan buka usaha warung gorengan hingga malam di teras rumahnya.
Sebagai pedagang cendol keliling sejak istrinya meninggal saat melahirkan Haryono, Suratman merasa patut berbangga karena ia bisa mendidik dan membesarkan anak laki-lakinya sendirian menjadi pribadi yang baik dan berbudi. Ia telah mematahkan anggapan banyak orang bahwa anak yang ditinggal mati ibunya cenderung nakal, berbeda dengan anak-anak yang ditinggal mati ayah mereka.
Usai menyiapkan adonan cendol untuk jualan esok hari, Suratman mengambil hape dan membuka facebook. Tak ada yang menarik perhatiannya. Untuk menghilangkan suntuk dan menunggu kantuk, Suratman keluar dan duduk di teras sambil melihat kembali lini masa di facebook.
Suratman membuka notifikasi yang baru saja masuk. Ada satu permintaan pertemanan. Suratman merasa kenal dengan pemilik akun yang wajahnya seperti sering ia lihat. Tanpa berpikir panjang Suratman menerima permintaan pertemanan itu dan melihat foto-foto yang diposting akun Mina Bosan Sendiri yang tanpa disadarinya, pemilik akun itu sedang berjalan menuju halaman rumahnya.
"Izin melintas, Mas Surat," lembut Mina mengagetkan Suratman.
"Eh, mari, eh iya, Dek ... hmm, Mbak Mina," Suratman gelagapan.
Mina tersipu. Jalannya sengaja diperlambat. Ia memindahkan bungkusan plastik yang ia tenteng dengan tangan kanan ke tangan kiri supaya dilihat Suratman.
"Dari mana, Mbak Mina?"
"Beginilah Mas, kalau anak-anak sudah besar dan merantau, apa-apa ya harus sendiri."