Pengantar Surat
(cerita mini)
Telingaku tak bisa mendengar suara dari kejauhan karena bisikan-bisikan di sekitarku teramat bising. Tengah malam, aku sendirian menapaki gelapnya belantara. Bila salah memilih jalan, aku tahu, gerbang kota akan menutup dan membiarkanku terlantar meratapi kegagalan.
Sebagai pejalan, aku tak ingin menoleh ke belakang apalagi kembali dan menyerah. Aku yakin bisa melewati perjalanan ini seorang diri meski tanpa suluh dan telingaku berdenging oleh bisikan-bisikan yang tak mau berhenti menunjukkan jalan mana yang harus kupilih. Aku bisa memilih jalanku sendiri, tapi mereka bertingkah seolah lebih tahu.
Mereka, maksudku bisikan-bisikan itu, perdu yang terbuat dari masa lalu yang sombong dan angkuh tapi hanya mampu bergelayut di dahan-dahan pohon yang kokoh. Mereka tak bisa bertumbuh sendiri karena tak punya akar yang kuat untuk mencengkeram tanah yang retak kala kemarau dan lembek saat musim penghujan.
Hujan turun saat aku tersadar pada tujuanku berjalan di belantara ini. Penguasa kota memerintahku mengambil sepucuk surat dari pedalaman dan mengantarkannya kepada mereka tanpa cacat. Bila aku terlalu cepat sampai maka aku dipecat. Bila aku datang terlambat maka aku telah berkhianat.
Jalan yang kutapaki mulai licin dan malam bertambah pekat. Insting berjalanku yang dulu terasah seakan tumpul karena, sejujurnya, aku mulai menikmati bisikan-bisikan itu yang melambungkan angan-anganku; anganku panjang akalku terpintal.
Hujan mengguyur deras dan mulai merembesi saku jaket kulitku. Surat itu meringkuk di sana dan takdirku sedang dipertaruhkan; bila surat itu basah selesai sudah amanat ini. Meski begitu, bisikan-bisikan di sekitarku menyoraki agar aku terus berjalan.
Perjalananku baru seperdelapan. Namun, hutannya pekat dan licin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H