Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Iqbal Syabani

Mahasiswa Aktif di Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Menilik Kembali Objektifikasi Perempuan pada Film Horor Indonesia Tahun 2000-an, Hal yang Patut Disyukuri Hilang pada Era Sekarang

Diperbarui: 8 Januari 2024   17:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Awal 2000-an menjadi periode yang kelam bagi industri perfilman Indonesia, terutama pada genre horor. Bagaimana tidak, normalisasi akan kemunculan film horor yang mengandung unsur seksualitas yang sangat kental dipertontonkan begitu vulgarnya dan begitu masifnya pada era tersebut. Bagi remaja yang lahir tahun 1990-an hingga tahun 2000-an awal, mereka tumbuh dan besar dengan kemunculan film-film yang bisa dikatakan sudah memasuki semi pornografi atau soft porn. 

Hal tersebut tentunya berdampak kepada sebagian remaja yang lahir pada era tersebut yang mana sudah tumbuh dewasa pada era saat ini. Pornografi jelas merusak cara bepikir kita sebagai manusia dan sayangnya hal tersebutlah yang dikonsumsi pada remaja. 

Karena tontonan horor itulah yang paling banyak tersedia di bioskop-bioskop dan stasiun tv di Indonesia pada saat itu. Nilai, harkat, martabat perempuan rusak olehnya karena objektifitas dan eksploitasi yang terjadi pada film-film tersebut. Meskipun era film horor seksual pada saat ini sudah sangat jarang sekali ditemukan dan hal tersebut selayaknya patut disyukuri. Akan tetapi kita juga patut menilik akan bagaimana film tersebut ternyata begitu mengobjektifikasi perempuan pada filmnya, yang mungkin pada waktu itu belum kita sadari.

Apabila kembali menilik pada era waktu itu, film horor pada awal 2000-an merupakan suatu fase dari evolusi horor-horor Indonesia yang belakangan ini sedang didominasi dengan film horor bertemakan Islami seperti film Makmum (2019), Siksa Kubur (2023) dan sebagainnya. Film horor pada era tersebut memiliki banyak sekali unsur-unsur yang tidak tepat. Hal tersebut dapat dilihat dari penggunaan artis sensasional dengan keseksiannya dan ditambah lagi dengan pemilihan artis film dewasa. 

Seperti artis Julia Perez dan Dewi Persik misalnya, ia banyak bermain dalam berbagai judul film horor seksual seperti Beranak Dalam Kubur, Sumpah (ini) Pocong, Kuntilanak Kamar Mayat, Tali Pocong Perawan, Paku Kuntilanak, dan sebagainya. Tentunya tujuan film tersebut bukan lagi menghibur secara “menakut-nakuti”, tetapi lebih menjuru kearah memuaskan hasrat seksualitas penonton.

Para sineas tertarik dan berlomba untuk memproduksi film horor Indonesia. Hal tersebut didasarkan pada demand, minat penonton, dan munculnya stigma bahwa film horor laku di pasaran. Mengutip dari suara.com, tujuh film horor paling laris di Indonesia dari tahun 2007 hingga tahun 2016 diisi oleh film-film yang di dalamnya terdapat adegan-adegan panas dan kecenderungan perempuan yang ditampilkan sebagai sosok marginal dibandingkan dengan laki-laki. 

Diurutan pertama terdapat Terowongan Casablanca (2007) dengan 1,2 juta penonton; Kedua, Tali Pocong Perawan (2008) dengan 1 juta penonton; Ketiga, Air Terjun Pengantin (2009) dengan 1 Juta penonton; Pocong Rumah Angker (2010) dengan 503.000 penonton; Arwah Goyang Karawang (2011) dengan 727.000 penonton; Nenenk Gayung (2012) dengan 360.000 penonton; 308 (2013) dengan 360.000 penonton (Esti Utami, 2016). Hal tersebut menjadi bukti bahwa film tersebut menjual dan demand film tersebut tinggi di pasaran.

Kehadiran perempuan juga tidak bisa dipisahkan dari peranan penting dalam setiap film yang ditayangkan. Hal ini karena posisi perempuan pada saat itu ditempakan pada sebagai objek untuk meningkatkan nilai jual (Setiawan & Halim, 2022) dalam (Ucu Andritama Sunarto, 2013). 

Perempuan dalam film horor banyak dimuat atau diproyeksikan dengan nilai negatif. Dapat dilihat dari banyak adegan yang kurang pantas untuk disajikan seperti dilecehkan, diperkosa, adegan perempuan sedang mandi, adegan perempuan dibunuh kemudian gentayangan, bersetubuh di ranjang tanpa busana, dan menggunakan pakaian ketat. Dampak dari adanya film-film seperti itu tentunya tidak hanya bagi remaja yang menonton saja, lebih dalam irasionalitas dalam berpikir, juga perempuan yang selalu akan dipandang sebagai objek dan dianggap murahan.

Dalam teori objektifikasi dijelaskan bahwa perempuan menginternalisasikan suatu pesan yang diobjektifikasi dan mempemalukan diri mereka sebagai objek untuk dilihat dan dievaluasi berdasarkan atribut semu. Objektifikasi terjadi ketika seseorang melalui sarana-saran social direndahkan derajatnya, dijadikan benda atau komoditas, dibeli atau dijual (Ananto Adhy Prabowo, 2018). Objektifikasi perempuan merupakan suatu bentuk diskriminasi gender yang tanpa disadari di dalam industri perfilman marak adannya. 

Objektifikasi perempuan pada film horor sering tejadi ketika medium audio visual menyoroti tubuh perempuan, terutama halnya ketika menggambarkan tokoh wanita tersebut sebagai sasaran tatapan laki-laki. Hal tersebut menjadi komoditas para sineas pada era tersebut. Seperti yang sudah dijelaskan diatas bahwa film horor seksual selalu laris dipasaran. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline