Propinsi Jawa Timur mungkin dikenal sebagai propinsi berbobot politik paling tinggi di republik ini. Basis terkuat bagi kaum nahdliyin, Islam tradisional, organisasi Muslim terbesar di dunia. Serta, rumah besar bagi kaum nasionalis. Menjadikan Jawa Timur adalah wilayah politik paling dinamis dan politis di Indonesia.
Di luar dari dua kelompok sosial tersebut, Jawa Timur juga menjadi tempat bagi banyak kelompok etnis, suku-bangsa, agama dan entitas politik serta sosial-ekonomi yang aktif mewarnai dan berkontribusi tak hanya terhadap pembangunan di propinsi besar tersebut tapi juga pembangunan nasional.
Banyak pemimpin nasional berasal dan besar dalam kawah candradimuka-nya sosial politik dan sosial kultural Jawa Timur. Karakteristik masyarakat Jatim yang khas, egaliter, nasionalis, partisipatif, demokratis dan mandiri, telah pula memunculkan sejumlah model kepemimpinan yang khas dan mampu berkontribusi secara lokal namun juga secara nasional.
Dulu, di era awal kemerdekaan, negara seusia bayi seperti Indonesia saat itu beruntung memiliki sosok pemimpin berani dan berkarakter seperti halnya Gubernur Soerjo. Ia adalah pahlawan nasional dan dikenang sebagai gubernur pejuang. Saat pasukan Inggris datang ke Surabaya pada Oktober 1945, dan terjadi pertempuran tiga hari dengan arek-arek Suroboyo, telah menewaskan komandan pasukan Inggris Brigjen Mallaby. Inggris kemudian mengultimatum rakyat Surabaya untuk menyerahkan senjata paling lambat tanggal 9 November 1945, atau keesokan harinya Surabaya akan dihancurkan.
Menanggapi ultimatum tersebut, Gubernur Soerjo dengan tegas berpidato di RRI bahwa Arek-Arek Suroboyo akan melawan ultimatum Inggris sampai darah penghabisan. Maka meletuslah pertempuran besar antara rakyat Jawa Timur melawan Inggris di Surabaya yang dimulai tanggal 10 November 1945.
Inisiatif berani pada tingkat kepemimpinan formal ini tentunya tidak akan setajam dan segarang itu jika tidak didukung oleh inisiatif pada tingkat kepemimpinan masyarakat sipil di Jawa Timur yakni kaum ulama dan santri. Kepemimpinan ulama besar KH Hasyim Asyari yang mengeluarkan ijtihad dan seruan moral politik bernama 'Fatwa Jihad' pada September 1945 (selanjutnya diresmikan dan dikenal sebagai Resolusi Jihad) telah memunculkan perlawanan yang massif dan militan terhadap kedatangan belasan ribu pasukan pemenang Perang Dunia II, Inggris, yang ditumpangi oleh pasukan Belanda. Kedatangan pasukan Sekutu dan Belanda tersebut hendak merongrong kemerdekaan Indonesia yang baru diproklamasikan paska takluknya Jepang.
Setelah masa kepemimpinan Gubernur Soerjo, publik selalu mengenang kepemimpinan Jawa Timur selanjutnya yang hampir semuanya memiliki karakter yang kuat, baik visi, prestasi kerja dan legacy-nya masing-masing. Terdapat 12 Gubernur yang kemudian memimpin Jawa Timur paska gubernur pertama setelah merdeka, Gubernur Soerjo.
Di antaranya adalah Gubernur Mochamad Wijono (1963-1967) yang memulai pembangunan secara lebih serius terhadap Jawa Timur antara lain dengan mengambil alih pengelolaan RSUD Dr Soetomo serta mendirikan banyak perusahaan daerah untuk membangun Jawa Timur saat itu.
Lalu yang cukup dikenang pula adalah Gubernur Moh. Noer (1967-1978). Kerap disebut sebagai gubernur-nya rakyat kecil. Pak Noer sangat dicinta rakyat dan terkenal dengan ungkapannya saat Sidang Umum MPR tahun 1973 yakni Agawe Wong Cilik Melu Gumuyu (membuat rakyat kecil ikut tertawa). Sehingga muncul ungkapan: gubernur Jawa Timur itu adalah Pak Noer, selebihnya adalah penggantinya. Pembangunan jembatan Madura-Surabaya adalah inspirasi dari ide Pak Noer.
Selanjutnya Gubernur Wahono (1983-1988) yang kemudian menjadi Ketua Umum Partai Golkar era Presiden Soeharto dan Ketua MPR/DPR RI. Lalu, Gubernur Soelarso (1988-1993) yang berhasil membawa Jawa Timur memasuki era pembangunan ekonomi modern. Gubernur Imam Utomo (1998-2008) yang berhasil menjaga stabilitas politik dan ekonomi Jawa Timur di kala era transisi empat Presiden RI (Soeharto, BJ Habibie, KH Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri).
Gubernur Soekarwo (2009-sekarang) adalah sosok teknokrat-birokrat-intelektual yang memahami politik dan pembangunan Jawa Timur dan nasional secara sangat baik. Kombinasi pemahaman dan pengalamannya ini telah melahirkan sebuah kepemimpinan berkarakter yang khas dan demokratis yang nantinya akan dikenang warga. Stabilitas politik dan kemajuan di bidang ekonomi masyarakat Jawa Timur tentunya menjadi indikator sukses kepemimpinan Gubernur Soekarwo yang dipanggil Pakde Karwo ini. Di masanya kemajuan warga dan daerah (kabupaten/kota) Jawa Timur terasa merata dari ujung Barat sampai Selatan. Munculnya pemimpin-pemimpin muda di tingkatan kabupaten/kota yagn kreatif dan inovatif, dan kekuatan-kekuatan politik baru, serta kekuatan-kekuatan bisnis yang berkembang secara sehat dan kontributif terhadap pembangunan Jawa Timur dan nasional berlangsung dan berkembang secara harmonis.