“Berapa lama lagi ia bisa bertahan, Dok?”
“Hanya sekitar sebulan. Atau mungkin juga bisa lebih. Semua hanya Allah yang menentukan. Kami hanya memprediksikan saja. Ia tidak boleh banyak pikiran”.
Nafasku terengah-engah mendengar perkataan dokter spesialis yang telah memeriksaku. Aku telah divonis atas penyakit yang kuderita. Itulah percakapan terakhir yang ia dengar antara dokter dengan kakakku dari balik pintu. “Sebentar lagi aku benar-benar akan mati. Aku harus meninggalkan semuanya”. Dokter tak bisa berbuat apa-apa lagi. Keluargaku hanya diminta berdoa kepada Allah supaya penyakit yang kuderita bisa disembuhkan. Perasaanku kosong. Aku tak bisa meraksakan apa-apa lagi.
Dua bulan lalu, aku mulai merasakan sakit yang teramat di bagian kepala dan punggungku. Penyakit ini kusembunyikan dari orang tuaku, teman-temanku, sahabatku, bahkan aku merahasiakan penyakitku ini dari orang yang sangat kucintai. Aku tak ingin seorangpun tahu atas apa yang kuderita. Aku tak ingin menyusahkan orang lain.
Sebenarnya, penyakit ini telah lama kuderita. Namun aku tidak pernah memperdulikannya. “Mungkin hanya sakit kepala biasa. Sebentar juga sembuh sendiri”, anggapku. Orang-orang yang dekat denganku pun beranggapan demikian karena selama ini aku tak pernah kelihatan seperti orang yang sedang menderita penyakit akut. Aku selalu berusaha agar tidak terlihat seperti seorang penderita penyakit meski aku harus menahan segala sakit yang menyerangku. Sebagai mahasiswa yang sering begadang dan sering terlalu lama berhadapan dengan komputer, ketahanan tubuhku jadi menurun. Bahkan pernah aku jatuh pingsang di rumah salah sorang teman seusai melaksanakan shalat maghrib. Aku benar-benar tak bisa melawan penyakitku malam itu. Ketika ditanya, aku mencoba mencari alasan agar tak diketahui kalau aku sedang sakit keras. Aku beralasan bahwa sudah dua malam aku tak pernah tidur nyenyak. Lagi-lagi aku berbohong untuk menyembunyikan penyakitku.
Kejadian itu bukan yang pertama kalinya menimpaku. Di tempat yang aku tinggali dulu, sering juga kualami hal seperti ini. Kepalaku sering terasa ingin pecah. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya merintih kesakitan. Aku tak bisa meminta tolong kepada siapapun. Dan yang lebih parah lagi, penyakitku itu kambuh saat teman-teman serumahku sedang keluar. Artinya, aku sedang sendiri di rumah. Tak ada yang mendampingiku dan tak ada yang bisa ke apotek untuk membelikanku obat. Aku benar-benar sekarat saat itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H