Lihat ke Halaman Asli

Analis Konflik Pada Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck

Diperbarui: 22 Desember 2023   13:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pada 28 Oktober 1936 di perairan Laut Jawa, terjadi peristiwa naas, tenggelamnya kapal mewah Belanda Van der Wijck dalam pelayaran dari Makasar-Bali-Surabaya (...dan beberapa hari yg lalu, Tim Arkeolog Badan Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Trowulan berhasil menemukan bangkai kapal yang diduga kuat Kapal Van der Wijck di dasar laut perairan Brondong, Lamongan, Jawa Timur -- kembali mengingatkan kita pada kisah Zainuddin dan Hayati; Hamka). 

Peristiwa tenggelamnya kapal dengan nama panggilan 'de meeuw' atau 'The Seagull' karena penampilannya yang anggun dan tenang itu mengilhami sastrawan-budayawan terkemuka, Hamka menciptakan Novel terkenal, "Tenggelamnya Kapal Van der Wijck" pada 1937. Sekedar untuk bernostalgia, berikut sekilas ringkasan dan ulasan tentang Roman: Tenggelamnya Kapal Van der Wijck* yang kami kopi dari berbagai sumber:

Tenggelamnya Kapal van der Wijck merupakan novel karya Haji abdul malik karim amrullah atau yang bisa kenal dengan nama Hamka yang pertama kali terbit pada tahun 1938 sebagai cerita bersambung dalam rubrik "Feuilleton" majalah Pedoman Masyarakat. Kemudian, cerita bersambung itu di kumpulkan oleh Syarkawi dan di terbitkan di Medan oleh Penerbit Centrale Courant pada tahun 1939. 

Selanjutnya, karya Haji abdul malik karim amrullah atau yang bisa di kenal nama Hamka yang satu ini hingga tahun 1963 telah mengalami cetak ulang untuk yang ke tujuh kali oleh penerbit yang berbeda-beda. Cetakan pertama (1939) dan kedua (1949) di terbitkan oleh Penerbit Centrale Courant. Cetakan ketiga (tahun 1951), keempat (tahun 1958), dan kelima (tahun 1961) di terbitkan oleh penerbit Balai Pustaka di Jakarta. Cetakan keenam (tahun 1961) dan ketujuh (tahun 1963) novel itu diterbitkan di Bukittinggi oleh Penerbit NV Nusantara. Cetakan ke-26 (tahun 2002) oleh Penerbit Bulan Bintang. Tenggelamnya Kapal van der Wijck mengisahkan cinta tak sampai yang dihalangi oleh adat Minangkabau yang terkenal sangat kukuh. 

Dalam novel itu diceritakan bahwa Zainuddin, seorang anak yang lahir dari perkawinan campuran Minang dan Makasar, tidak berhasil mempersunting gadis idamannya yang di hadapi banyak rintangan terutama perbedaan status sosial, Hayati, karena ninik-mamaknya tidak setuju dan menganggap Zainuddin sebagai manusia yang tidak jelas asal-usulnya. Zainuddin kemudian menjadi pengarang. Dalam suatu kecelakaan gadis kecintaannya meninggal dalam kapal yang di tumpanginya.

 Dari inti cerita itu dapat di katakan bahwa novel Hamka ini mengetengahkan masalah adat yang mengatur jodoh seseorang. Sementara itu, masalah agama tidaklah menjadi masalah pokok, seperti yang sering di sebut-sebut orang bahwa novel itu membawakan napas keagamaan, sebagaimana di katakan oleh Goenawan Mohamad (1966). 

Dalam novel itu ternyata masalah agama lebih dominan sebagai latar karena masalah itu bukanlah sebagai persoalan utama yang di hadapi para pelakunya. Dalam novel haji abdul malik karim amrullah atau bisa kenal dengan nama Hamka ini alur cerita terbangun melalui peristiwa-peristiwa yang terungkap lewat surat-surat. 

Ada 35 surat yang ditulis oleh tokoh-tokohnya. Tokoh dalam novel itu saling berkirim surat untuk mengemukakan berbagai perasaan dan pengalamannya. Misalnya, Hayati berkirim surat kepada Zainudin enam kali, Zainudin berkirim surat kepada Hayati sembilan kali, dan Hayati kepada Chadijah lima kali. Menurut H.B. Jassin (1967) , surat-surat yang dimasukkan oleh Hamka ke dalam novelnya itu sebagian besar merupakan ulangan yang tidak membuka pemandangan baru dan dapat di hilangkan dengan tidak mengurangi jalan cerita. 

Menurut Jassin pula, komposisi surat-menyurat dalam novel Hamka itu merupakan pengaruh dari Alexander Dumas, yang bukunya Margaretha Gauthier telah di terjemahkan oleh Hamka. Pengaruh Alexander Dumas yang terwujud dalam surat-menyurat yang muncul dalam novel Hamka itu sebenarnya tidak terlalu menimbulkan banyak persoalan. Novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck baru bermasalah setelah di tuduh sebagai karya jiplakan, dan Hamka, pengarangnya, di cap sebagai doktor plagiator.

Novel Hamka terbit pertama kali pada tahun 1938 dan pada cetakan keenam--tahun 1961--novel itu baru di permasalahkan. Jadi, setelah beredar selama 23 tahun novel tersebut baru di  tuduh sebagai barang jiplakan. Tuduhan plagiat terhadap novel tersebut juga menjadi polemik  yang sangat begitu hangat pada zamannya. Polemik tentang novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck yang di tuduh sebagai karya jiplakan itu berawal dari tulisan Abdullah Said Patmadji atau lebih terkenal dengan sebutan Abdullah S.P., seorang cerpenis dan penyair kelahiran Cirebon, yang di publikasikan dalam lembaran kebudayaan "Lentera" harian Bintang Timur, pada tanggal 12 dan 14 September 1962. 

Abdullah S.P. menyatakan bahwa karya Hamka Tenggelamnya Kapal van Der Wijck >merupakan jiplakan dari Magdalaine karangan Alphonse Care yang di terjemahkan oleh Said Mustafa al-Manfaluthi ke dalam bahasa Arab. Dalam tulisannya yang pertama, Abdullah S.P. mengatakan bahwa gaya Hamka sangat mirip dengan gaya pujangga Mesir Al-Manfaluthi: gaya bahasanya, jalan pikirannya, perasaannya, dan filsafatnya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline