Lihat ke Halaman Asli

Kwee Tek Hoay: Harta Terpendam Sastra Indonesia

Diperbarui: 25 Juni 2015   07:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

KBR68H - Kesastraan Melayu Tionghoa sejak akhir abad 19 sudah mewarnai kesastraan Indonesia modern. Namun kurikulum nasional mengajarkan pembabakan sastra Indonesia modern dimulai dari Balai Pustaka pada 1920-an. Peneliti Prancis Claudine Salmon mencatat, selama hampir seabad, lebih dari 3000 karya dihasilkan sastrawan Melayu Tionghoa. Salah satu maestronya adalah Kwee Tek Hoay. Kwee tidak hanya menulis karya sastra, ia juga menulis di surat kabar, dan menulis sejarah serta agama. Bagaimana sepak terjang tokoh ini dan karya-karyanya? Berikut laporan reporter KBR68H Guruh Dwi Riyanto.

Sastrawan tak Dikenal

Drama Zonder Lentera karya Kwee Tek Hoay sedang dimainkan oleh Teater Bejana. Asisten Sutradara Hendra menceritakan naskah yang diterbitkan lebih 80 tahun lalu itu.

“Dan yang menarik dari Zonder Lentera itu, cerita soal masalah-masalah kecil yang melebar ke masalah-masalah besar. Jadi awalnya cuma gara-gara ada anak muda ditangkap karena naik sepeda tidak pakai lampu.”

Zonder Lentera adalah salah satu karya sastra Kwee Tek Hoay yang didramakan. Di antara karyanya yang lain adalah Nonton cap Gomeh, Drama di Boeven Digoel, Bunga Roos dari Tjikembang dan Roema Sekola jang Saja Impiken.

Kwee Tek Hoay lahir di Bogor, Jawa Barat pada 1886. Ia menjadi bagian dari arus kesasteraan melayu Tionghoa.

Pentas Drama Zonder Lentera (doc Teater Bejana)

Pentas Drama Zonder Lentera (doc Teater Bejana)
Dosen Sastra Universitas Indonesia Ibnu Wahyudi mengatakan, arus kesasteraan berbahasa melayu pasar ini lahir sejak akhir abad 19, sebelum Belanda mendirikan Blai Pustaka.

“Mulai munculnya penerbitan yang dimiliki para keturunan Tionghoa. Ada surat kabar, almanac dan sebagainya, di sela-selanya muncul puisi dan cerita bersambung.”

Peneliti Prancis Claudine Salmon mendokumentasikan, hingga 1960an lebih dari 3 ribu karya sastra diterbitkan kaum peranakan Tionghoa di Indonesia.

Kwee Tek Hoay berperan dominan di dalamnya, lanjut Ibnu Wahyudi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline